Kamis, 26 Februari 2009

Menjadikan Teks Sebagai Kekasih


Judul Buku : Main-Main Dengan Teks
Sembari Mengasah Potensi Kecerdasan Emosi
Penulis : Hernowo
Pengantar : Sindhunata
Cetakan : Januari 2004
Tebal : 184 halaman

Selama ini, tidak sedikit orang yang merasa ngeri berdekatan dengan buku atau teks. Latar belakangnya pun berbeda-beda: karena trauma sebab pernah membaca buku tetapi tidak mampu menangkap pesan buku tersebut, atau karena merasa bukan sebagai seorang intelektual sehingga “takut” untuk membaca. Padahal buku adalah gerbang utama ilmu pengetahuan. Tanpa buku seseorang tidak akan pernah bisa merasakan manisnya kehidupan yang sesungguhnya.
Berangkat dari keprihatinan di atas, Hernowo, yang sudah banyak “berkeliaran” dalam dunia buku, berusaha menyingkap duri-duri dan kerikil tajam yang melingkupi dunia buku atau teks selama ini. Hernowo ingin menegaskan bahwa sebenarnya teks itu bukanlah sesuatu yang angker atau menakutkan. Akan tetapi ia adalah sesuatu yang amat dekat dengan kehidupan kita sendiri. Teks sebenarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita. Maka “membaca teks” seharusnya tidak menjadi beban, sebagaimana hidup itu sendiri yang bukan beban. Bahkan kita mesti mencintai teks sebagaimana kita mencintai hidup ini.
Bagi Hernowo, sebagaimana layaknya kehidupan yang kaya dalam berbagai aspeknya, teks juga memiliki “kekuatan” yang dahsyat: teks itu “menggairahkan”, “menggetarkan”, “mengguncang”, “mendinamit”, “mengilhami” dan lain-lain. Jika kita bisa menerima teks sebagai bagian dari kehidupan maka teks itu akan memberikan kepada kita apa yang seharusnya diberikan oleh kehidupan itu sendiri.
Maka dengan berdasarkan pengalaman riilnya selama bertahun-tahun, Hernowo menawarkan jalan mulus dan tahapan-tahapan yang mesti dilalui agar kita bisa memasuki dunia teks dengan selamat dan merasakan “api” yang tersimpan di dalamnya. Tahapan yang ditawarkan tersebut adalah pada saat membaca, kita harus memperhatikan setiap kata, kemudian istilah, kalimat, definisi, alinea, makna dan baru setelah itu berusaha menangkap “apa masalah yang paling penting”. Dengan strategi tersebut kita akan terlatih untuk bisa melahap buku apa saja yang kita baca. Paling tidak, hal itu pernah dialami oleh penulisnya sendiri.
Namun karena Hernowo menjadikan “membaca” merupakan aktivitas yang tak bisa dipisahkan dari “menulis” maka seringkali terjadi tumpang tindih antara keinginannya untuk menyingkap misteri teks dan gagasannya tentang pentingnya menulis. Bahkan Hernowo tampak terjebak dan hanyut dalam menguraikan seluk-beluk bagaimana “menulis” hingga ia menghabiskan separuh lebih dari buku ini. Dengan demikian, materi “misteri teks” (apa hakikat teks, bagaimana memecahkan simbol-simbol, isyarat, atau tanda-tanda yang mengelilingi teks, dan bahkan bagaimana mengasah kecerdasan emosional dengan teks seperti yang tercamtum di judul bukunya) yang hendak disingkap menjadi kurang tereksplorasi secara mendalam dan kritis.
Meskipun begitu, melalui buku ini, kita tetap bisa banyak menimba pengalaman orisinal penulisnya tentang bagaimana menaklukkan teks dan menguraikan isi otak kita melalui tulisan yang tajam dan sitematis. Apalagi sajiannya yang menarik dengan kemasan bahasa yang komunikatif, cair dan “gaul” amat membantu pembaca (terutama pembaca pemula) untuk dapat dengan sangat mudah memasuki dunia baca tulis secara “bersemangat dan berapi-api”, tanpa ada beban perasaan takut atau bersalah.
Di tangan Hernowo ini, membaca dan menulis pada akhirnya menjadi “kekasih” yang amat menarik dan mengasyikkan. Sehingga siapapun yang membaca buku ini secara cermat dan tuntas, maka segera setelah selesai, ia akan mencari buku untuk dibaca sambil duduk di depan layar komputer untuk menulis.
Selamat bercinta dengan buku dan keyboard komputer. Yakinlah bahwa keduanya akan sanggup memberikan dunia dan keindahan yang tidak bisa diberikan oleh selain keduanya. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar