Selasa, 29 Maret 2022

POTENSI SPIRITUALITAS MANUSIA

@Dr. Abdul Wahid Hasan

 Secara sederhana, manusia memiliki dua dimensi: dimensi dhahir dan dimensi batin; raga (soamtic) dan ruh. Jika mengikuti pandangan penemu logoterapi sekaligus tokoh psikologi humanistik, Viktor Frankl, bagian batin ini masih dirinci lagi menjadi dua macam, yaitu dimensi mental dan dimensi neotik (neotic) yang sering disebut dengan dimensi spiritual (keruhanian). Dimensi spiritual inilah sebenarya yang mengantarkan manusia menjadi manusia. The spiritual dimension cannot be ingnored, for it is what makes us human. Meskipun demikian, masing-masing dimensi ini pada hakikatnya sama-sama membutuhkan nutrisi, agar  ia bisa tumbuh berkembang secara normal dan sehat, serta bisa merasakan kenyamanan dan ketenangan.

            Sesuai kodratnya, kononberdasarkan informasi teks keagamaan—manusia diciptakan oleh Allah dari tanah, yang kemudian membentuk manusia secara fisik. Karena tercipta dari tanah, maka ia selalu membutuhkan nutrisi, yang berasal dari sumber asalnya: tanah! Susu, nasi, daging, sarimi, kocor, dan lain-lain, termasuk perempuan, yang pada dasarnya juga berasal dari tanah. Pada saat menikmati semua itu, manusia sudah bisa 'merasakan' kesenangan secara fisik. Secara material. Karena asyik dengan kenikmatan fisik-material ini, pada perjalanan berikutnya, banyak sekali manusia yang lupa, bahwa mereka bukan hanya fisik, tetapi juga memiliki ruh.

            Ruh, ditiupkan oleh Allah ke dalam manusia: wanafakhtu fihi min ruhi (I blew into him the part of my own spirit) [al-Hijr: 29].  Ruh ini suci karena bersal dari-Nya dan ‘ditiupkan oleh-Nya. Manusia –meminjam istilah Ibnu Araby—merupakan  ‘bagian’ (the part) dan secara fithrah ia akan selalu merindukan untuk bersatu dengan yang ‘keseluruhan’ (the whole), demikian juga sebaliknya.

Dengan demikian, dalam diri manusia sudah tersimpan potensi-potensi ‘ketuhanan’ yang amat berharga, yang diharapkan bisa dikembangkan sehingga sifat-sifat ketuhanan tersebut bisa memancar dalam dirinya, dan pada akhirnya bisa bermanfaat untuk diri dan orang lain. Potensi ini akan semakin aktif berkembang dengan baik jika ia terus terhubung secara spiritual dengan Tuhan, sebagai pemilik ruh yang ada dalam dirInya tersebut.

Ruh  ini sebenarnya merupakan inti dari manusia. Ia yang sebenarnya merasakan hakikat senang, bahagia, jika mendapatkan nutrisi yang cukup dan semestinya,  ataupun merasakan sedih, gelisah, keterasingan, kehampaan, dan lain-lain, jika tidak mendapatkan nutrisi yang cukup dan semestinya. Karena ruh berasal dari Tuhan, maka nutrisinya harus berupa hal-hal yang identik dengan ke-Tuhan-an. Untuk merasakan kebahagiaan ia mesti terus bersambung dengan Tuhan. Upaya tersebut bisa mewujud dalam bentuk dzikir, shalat, membaca Alquran, dan ibadah formal yang lain, termasuk juga bisa mewujud dalam bentuk aktivitas lain, yang secara kasat mata bisa berbentuk apapun: nonton tv, berjalan-jalan, merokok, duduk, tidur, makan, dan lain-lain. Akan tetapi jika ia bisa 'menghubungkan' dirinya dengan Tuhan dalam aktivitas tersebut, maka berarti ia sedang dalam proses memberi nutrisi yang baik terhadap dimensi ruhaninya. Itulah true happiness. Kebahagiaan sejati. Karena dengan melakukan hal tersebut ia lebih bisa  berada dalam bingkai makna yang luas dan dalam. 

Pada saat raga sudah tidak bisa menjadi tempat yang baik lagi bagi ruh (dalam bahasa biologi) atau ketika manusia harus sampai pada garis kematiannya, maka  ruh berpindah tempat. Ia tetap 'hidup' sampai kapanpun (bukan kekal, tetapi lebih tepat disebut dikekalkan). Ia kembali pada Tuhannya.

Karena Tuhan 'bersih" dan 'suci', maka untuk bisa bertemu Tuhannya secara sempurna ia juga harus bersih dan suci. Proses pembersihan ruh ini disebut tasawuf. Kata Inggris yang paling dekat dengan tasawuf adalah gnosticism. Dalam literatur Barat, tawasuf sering disebut dengan mistisisme Islam, atau sufisme. Orangnya disebut sufi. Kata sufi mulanya muncul dalam tulisan pada abad ke-9. Asal usul  kata ini dibahas oleh Hujwiri (w. 1071) pada abad ke-11. Asal kata tersebut juga sering diperbincangkan oleh pakar tasawuf. Ada yang menyebut berasal dari kata shuf yang berarti wol (bulu kasar), karena banyak sufi memakai kain wol yang kasar tersebut (lihat Lynn Wilcox, 2003: 19-20). Ada yang menyebut berasal dari ahlus shuffah, atau juga berasal dari kata shaf yang berarti barisan, dengan alasan karena orang sufi berada di barisan pertama di hadapan Allah. 

Inti tasawuf sebenarnya sederhana, yaitu takhallî, tahallî dan tajallî. Takhallî  berarti melepaskan dan membuang segala sesuatu yang tidak baik dan kotor dari tubuh kita, khususnya dari hati, jiwa, pikiran, atauh ruh kita. Dengan melakukan hal tersebut, seorang yang hendak memasuki dunia tasawuf berarti sudah mulai melangkan memasuki station (maqam) pertama dalam tasawuf, yang disebut tawbah. Maqam tawbah ini merupakan dasar utama bertasawuf. Karena tidak mungkin seseorang hendak mengharapkan cinta Sang Kekasih, jika ia masih berlumuran noda. Masih banyak memiliki kesalahan padanya.

Proses pembuangan ini membutuhkan perjuangan yang berat. Sebab, para penggoda juga tidak akan tinggal diam untuk membiarkan seeorang menjadi baik. Belum lagi penggoda canggih yang berasal dari dalam dirinya sendiri, yang disebut nafsu. A'dâ 'aduwwika nafsuka alladzî bayn janbayk. Banyak sufi yang harus menghabiskan waktu bertahun-tahun di dalam maqam pertama ini. Sebab, di dalam maqam ini, masih ada kelas-kelas lagi. Kelas terendah adalah bertawbat dari dosa besar, kemudian dari dosa kecil, dari hal yang dimakruhkan, merasa baik dalam bertawbat, sampai pada puncaknya min kulli khatharin yakhthuru lahu fî ghayri  mardhâtillâh.  Dalam bahasa sufistik yang lain disebutkan, tawbatul 'Am minadz dzanb, wa tawbatul khâsh minal ghaflah (tawbat kelas awam adalah dari dosa, dan tawbat kelas eksklusif adalah dari lupa pada Allah)

Proses selanjutnya adalah tahallî. Dalam hal ini kita sudah mulai berbenah untuk menghiasi diri dengan hal-hal yang baik dan luhur seperti zuhd, shabr, faqr, tawadhu', tawakkal, rida dan mahabbah). Sekali lagi, dalam tahapan ini, kita dituntut untuk memerangi diri kita sendiri sebagai musuh yang paling cerdik, lihai, dan tersembunyi. Jika itu semua sudah terlewati, maka tajallî akan terjadi. Wujud tajallî bisa berupa ittihad, wahdatul wujud, hulul, dan lain-lain.      

            Pada saat manusia sudah memerhatikan, merenungkan dan memperlakukan dirinya secara baik, komprehensif, berarti ia sudah mulai bergerak untuk menjadi diri yang utuh; sebuah diri yang tidak berdiri sendiri; diri yang berkesadaran bahwa ia ada yang menciptakan sehingga tidak bisa terlepas dari yang menciptakannya. Sekali terlepas, berarti ia telah merusak dan melakukan kedhaliman terhadap dirinya sendirinya. Ia telah mengantarkan dirinya pada sebuah kehinaan dan kehancuran. Ini juga berarti ia tidak menyayangi dirinya sendiri. Rabbanâ dhalamnâ anfusanâ wa in lam taghfir lanâ wa tarhama lanakûnanna minal khâsirîn...

 

Selengkapnya...

Selasa, 22 Maret 2022

BUKU ISLAM RINGAN DAN ISLAM BERAT

 

                                            Dr. Abdul Wahid Hasan

Dalam sebuah kesempatan pergi ke Yogya, di awal 2007, saya menyempatkan diri bertemu dengan bos penerbit IRCiSoD dan Diva Press, Mas Edi AH Iyubenu, yang telah menerbitkan buku saya, SQ Nabi: Aplikasi Strategi dan Model Kecerdasan Spiritual Rasululah Saw di Masa Kini. Mungkin buku tersebut termasuk buku ilmiah karena ternyata Depag RI memberikan penghargaan kepada saya sebagai buku ilmiah terbaik yang ditulis oleh dosen swasta PTAI-Indonesia.

Perbincangan seputar buku, antara saya dan Mas Edy segera mengalir deras dan hangat. Maklum, bos Ircisod itu adalah seorang penulis produktif, yang telah berhasil mempublikasikan tulisannya di berbagai koran, majalah dan jurnal, lokal ataupun nasional. Sementara saya, dulu adalah mahasiswa yang juga punya syahwat cukup tinggi terhadap perbukuan: membaca dan menulis, meskipun tidak seproduktif dia.  “Buku kamu itu bagus. Tetapi tanggapan pasar tidak sebagus bukumu, karena ia tergolong buku berat, yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat terpelajar saja,” katanya menanggapi pertanyaan saya tentang laku tidaknya buku saya tersebut.

Dia lalu mengambil buku Misteri Shalat Tahajjud yang ditulis oleh Muhammad Muhyiddin. Setelah saya periksa, pada bulan Januari 2007 saja, ternyata buku itu sudah dicetak empat kali, dan selanjutnya cetakan V bulan Februari dan cetakan VI pada bulan Maret. Saya tidak tahu sekarang, mungkin sudah cetakan X atau lebih. “Tidak kurang dari Rp. 5 juta setiap bulan, saya harus membayar royalti kepada Muhyiddin,” katanya sambil tersenyum penuh arti. “Coba kamu menulis buku yang seperti ini!” Ia memotivasiku untuk menulis buku, sambil menunjukkan buku Muhyiddin yang lain, yang juga best-seller, Misteri Energi Istighfar.

Saya terus membolak balik kedua buku itu. Muhyiddin ternyata telah menulis banyak buku laris seperti Menjadi Kaya Bersama Dzikir, Kasidah-Kasidah Cinta, The True Power of Heart, Keajaiban Shodaqah, Jilbab itu Keren dan lain-lain. Saya kemudian diajak oleh Mas Edy melihat ke gudang buku untuk melihat langsung buku-buku yang lagi laris di pasaran. Saya melihat ada buku Rahasia Shalat Khusyuk dan Keajaiban Hati  yang ditulis oleh Rizal Ibrahim, Menyingkap Rahasia Gerakan-Gerakan Shalat karya Hilmi al-Khuli termasuk novel-novel Islami seperti Syahadat Cinta karya Taufiqurrahman al-Azizy, Dzikir-Dzikir Cinta yang ditulis oleh Anam Khairul Anam dan buku-buku Islami lainnya. Di TB Social Agency dan TB yang lain saya juga menemukan puluhan buku-buku keislaman yang begitu laris seperti Lezatnya Shalat Khusyu’ dengan Hati yang Bersih dan Rahasia Menggapai Hidup Bahagia yang ditulis oleh Bisri M. Djaelani, termasuk novel laris Ayat-Ayat Cinta yang ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazy yang mengalami puluhan kali cetak ulang. 

Dalam perjalanan pulang ke Madura pikiran saya terus dihantui beribu pertanyaan: mengapa masyarakat Indonesia menyukai buku-buku keislaman seperti itu? Apakah karena masyarakat Indonesia mayoritas muslim? Apakah mereka sudah begitu merindukan relijiusitas dan spiritualitas untuk hadir dalam kehidupan mereka sehari-hari? Kalau memang ya, mengapa? Mengapa mereka tidak menyerbu buku-buku spiritual lainnya yang memiliki bobot ilmiah lebih dalam seperti Mencari Belerang Merah-nya Claude Addas, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi yang ditulis oleh Henry Corbin, Tawasin-nya Abu Mansur al-Hallaj dan lain-lain? Mengapa mereka juga tidak antusias untuk mengkaji buku-buku pemikiran keislaman seperti Formasi Nalar Arab-nya M. Abed al-Jabiri, Menalar Firman Tuhan-nya Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking Islam-nya Mohamed Arkoun dan lain-lain?

Dengan logika berpikir yang amat sederhana saya mulai memetakan buku-buku tersebut menjadi dua. Yang pertama masuk dalam kategori buku “Islam Ringan” dan yang kedua masuk dalam kategori “Islam Berat”. Dari sisi tema, antara buku Islam ringan dan Islam berat sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda. Yang membedakan keduanya adalah model kemasan bahasanya. Islam berat tampil dengan bahasa yang  “seram” dan lebih bersifat teoritis-ilmiah. Sedangkan  buku Islam ringan bahasanya mudah dicerna dan lebih bercorak praktis-amaliyah.

Kata Ruslan, salah seorang distributor buku di Yogyakarta, buku Islam ringan ini amat laris di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan lain-lain. Kepenatan setelah seharian bekerja di luar rumah dengan segala problem yang menyertainya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mereka malas untuk membaca buku-buku berat yang harus mengernyitkan dahi. Mereka butuh bacaan ringan untuk mengobati rasa letih, tetapi yang bermanfaat untuk kebermaknaan hidup, ketenangan dan kedamaian jiwa mereka. Mereka membutuhkan wejangan spiritual sekaligus kiat praktis  untuk mengatasi keletihan fisik dan psikis mereka. Intinya mereka ingin puas, bahagia dan merasa nyaman dengan pekerjaan dan materi yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut.

Selain itu, berbagai bencana dan musibah yang melanda Indonesia akhir-akhir ini seperti gempa, tsunami, pesawat jatuh, kebakaran, banjir bandang, tanah longsor, lumpur Lapindo dan lain-lain, yang telah banyak merenggut nyawa dan harta benda, menyebabkan banyak orang terpukul, sedih, stress, putus asa, merasa hampa dan pada akhirnya kehilangan makna (lack of meaning). Belum lagi persoalan ekonomi yang terus mencekik leher banyak orang. 

Maka buku-buku yang menawarkan penyejuk pikiran, hati dan jiwa seperti kiat-kiat shalat khusyu’, rahasia shalat tahajjud, mukjizat dzikir, menggapai kebahagiaan sejati, psikologi kematian sampai cara menjemput ajal dengan baik, dengan mudah berhasil menarik simpati mereka. Para penulis pun berlomba untuk menulis buku. Haidar Baqir dan Komaruddin Hidayat juga tidak ketinggalan. Penerbit juga memburu orang-orang yang dianggap bisa menulis. Beberapa minggu yang lalu saya mendapat order untuk menulis buku dengan tema shalat itu nikmat, menajemen husnul khatimah, menjemput ajal dengan tersenyum dan lain-lain, setelah buku saya Shalat Sunnat Bersama Nabi Saw. mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

Tentu saja tidak sembarang buku Islam ringan yang menajdi best-seller. Mereka juga tetap mempertimbangkan bobot dan gaya penulisannya. Sebab tidak sedikit buku Islam ringan yang sepertinya ditulis dengan “terburu-buru” sehingga terkesan dipaksakan dan alur penulisannya pun tampak kurang runtut.  Banyak sub bab yang terkesan “dihubung-hubungkan” dengan tema, padahal sebenarnya tidak terlalu berhubungan.

Terlepas dari semua itu, saya melihat bahwa masyarakat kita saat ini memang sedang haus dengan hal-hal yang berbau spritualitas. Mereka tidak ingin krisis spiritual, krisis eksistensial dan krisis makna seperti yang sedang melanda dunia Barat saat ini, menghampiri mereka. Mereka juga tidak ingin mengalami keterputusan dengan The Higher Consciousness dengan tetap menjadikan agama sebagai jalan hidup mereka. Intinya, hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) menjadi motivasi utama mereka untuk bisa meraih kehidupan bermakna (the meaningful life). Bedanya dengan Logoterapi-nya Viktor Frankl adalah terletak pada keinginan mereka untuk meraih kebermaknaan itu dalam bingkai dan cahaya agama.

Saya berharap semoga Islam ringan dan spiritualitas yang dijejalkan oleh para penulis ini tidak menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi lebih gemar duduk di dalam rumah, mengaji, berdzikir, shalat dan melakukakan aktivitas lain yang lebih mementingkan “keselamtan diri sendiri” daripada berperan aktif berkerja di luar: memberantas korupsi dan kemiskinan, meningkatkan pendidikan, membela hak-hak orang tertindas dan lain-lain yang sebenarnya juga merupakan bagian terpenting dari spiritualitas Islam. Saya juga berharap bahwa Islam berat pada gilirannya juga menjadi “buruan” masyarakat karena itu berarti mereka sudah semakin terpelajar. 

 

Dr. Abdul Wahid Hasan

Penulis buku SQ Nabi, Mengarungi Jagat Spiritual Gus Dur, Studi Islam, dan buku-buku Keislaman lainnya.

Selengkapnya...

DARI KESADARAN SUFISTIK KE PROFETIK

Dr. ABdul WAhid Hasan

Satu sisi  yang mungkin lebih menarik untuk dikaji lebih mendalam dari peristiwa Israk-Mikraj Nabi saw. bukan pada perjalanan beliau melakukan “wisata spiritual” ke langit (Sidratil Muntaha), tetapi pada “turunnya kembali” beliau dari langit ke bumi. Sebab, kemauan Nabi untuk “turun kembali” ini menunjukkan adanya sebuah kesadaran dalam diri beliau bahwa misi kenabiannya adalah bukan untuk semata-mata kebahagiaan dirinya, tetapi jauh lebih penting dari hal tersebut adalah kebahagiaan orang lain (the other), di luar dirinya. Ini pula yang amat dikagumi Mohammad Iqbal dalam melihat perjalanan spiritual beliau yang amat berbeda dengan perjalanan spiritual para sufi: He returns to insert himself into the sweep of time with a view to control the forces of history, and thereby to create a fresh world of ideas. For the mystic the repose of ‘unitary experience’ is something final; for the prophet it is the awakening, within him, of world-shaking psychological forces, calculated to completely transform the human world.

Fenomena “kembalinya” Nabi dari langit ke bumi berbeda dengan apa yang dialami oleh para mistikus muslim (sufi), terutama yang hidup di abad II dan III H. Pada saat mereka mengalami “pertemuan” bahkan penyatuan (ittihâd) dengan Tuhan, seperti pernah dialami oleh Abu Yazid al-Basthami, Rabi’ah al-Adawiyah, ataupun al-Hallaj, mereka terbuai dalam kenikmatan individual tersebut sehingga tidak merasa nyaman untuk berinteraksi dengan manusia. Mereka lupa untuk “kembali” berbaur dengan manusia.

Dari sini dapat diketahui adanya dua model kesadaran spiritual yang berbeda: kesadaran profetik dan kesadaran sufistik. Kesadaran profetik meniscayakan pengabdian dan pelayanan kepada manusia sebagai tujuan akhir dari perjalanan atau karir spiritualitas, sedangkan kesadaran sufistik menjadikan “kemesraan” dengan Tuhan sebagai tujuan akhir dari riyâdah spiritual yang mereka lakukan.

Meskipun kesadaran sufistik seperti digambarkan di atas itu baik, akan tetapi kebermanfaatannya kepada makhluk Tuhan tidak begitu terasa. Padahal pada dasarya, Tuhan menciptakan manusia agar mereka bisa menjadi ‘wakil’ bagi diri-Nya. Sebab, meskipun Tuhan Maha Kuasa, ia tidak berkehendak untuk memberikan ‘bantuan langsung’ dengan tangan-Nya sendiri, kepada hamba-Nya yang sedang ditimpa bencana, sakit, mederita, kelaparan, tertindas dan lain-lain. Dibutuhkan manusia sebagai wakil atas kekuasaan-Nya untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut. Dalam pandangan Muhammad Zuhri, Tuhan hanya memiliki 99 nama, sehingga untuk melengkapi nama Tuhan yang keseratus, manusia harus berperan sebagai wakil atas nama-Nya.

 

Menghidupkan Spiritualitas yang Hidup

            Spiritualitas merupakan dimensi penting manusia yang juga membutuhkan perawatan sebagaimana dimensi yang lain: somatik dan mental, sebagaimana pernah diteguhkan oleh Viktor Frankl (1973:9), penemu logoterapi. Sisi inilah yang sebenarnya bisa menjadikan manusia sebagai manusia (it is what makes us human), menjadikan manusia menjadi apa yang oleh Webster disebut truly human, atau menjadi more human and a person in the fullest sense seperti dinyatakan oleh Macquarrie.

Jika sisi penting ini dibiarkan terbengkalai dan tidak mendapatkan nutrisi yang cukup, manusia akan berubah menjadi buas, serakah dan kejam sehingga tidak bisa menghargai kemanusiaan manusia yang lain. Manusia kemudian berada dalam cengkraman kegelisahan, ketakutan, kehampaan dan penyakit psikologis lain yang pada gilirannya menggiring mereka pada tindakan dan kondisi yang sulit dinalar akal sehat: kebingungan, keganasan, ketertekanan, stress, bunuh diri, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan penghancuran nilai-nilai kemanusian yang lain. Inilah yang disinyalir oleh berbagai kalangan sebagai hal yang mengakibatkan dunia karut-marut dan—seperti dilukiskan oleh Anthony Giddens—menjadi “dunia yang lari tunggang langgang” (run away world).  

            Para mistikus, termasuk mistikus muslim memang lebih fokus pada pengembangan dan perawatan sisi spiritualitas ini. Capaian mereka dalam pengembangan spiritual, sebagai potensi besar manusia, memang cukup mengagumkan. Sayangnya, kedamaian dan kenyamanan yang mereka alami mengantarkan mereka pada situasi yang sangat individualistik. Meskipun ini baik, akan tetapi yang lebih dibutuhkan sebenarnya adalah sebuah bentuk spiritualitas yang hidup, kreatif, dinamis dan progresif. Bukan spiritualitas yang statis sehingga berhenti pada wilayah yang sempit.

            Kesadaran sufistik seperti digambarkan di atas mestinya terus berevolusi menuju  atau ditransformasikan dalam sebuah lingkar kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran profetik. Jika hendak belajar dari Mikraj Nabi saw., setelah beliau mengalami atau mencapai kematangan spiritual (spiritual maturity)—dengan mendapat kehormatan berupa diundangnya beliau ke maqam terdekat dengan Tuhan—beliau dengan penuh cinta mau kembali lagi turun ke semesta eksistensial manusia: menyingkirkan kebodohan yang bersarang di otak mereka (dhulumât) untuk kemudian menggiring mereka pada sebuah kondisi yang lebih bercahaya (al-nûr). Inilah hakikat riyâdhah spiritual yang sesungguhnya: menaklukkan ego dan cinta individual menuju cinta yang universal.

Dengan demikian, kata kunci utama dalam pengembangan spiritalitas yang hidup ini adalah cinta kepada sesama, yang menafikan ras, suku, warna kulit, bahasa, negara dan agama.  Dengan berbekal cinta universal semacam ini manusia yang satu bisa menjunjung tinggi martabat manusia yang lain dengan memberikan perlindungan bagi yang tertindas, membantu yang kekuarangan, membimbing yang tidak tahu, memberantas korupsi, prostitusi dan kejahata lain,  atau  memberikan keadilan bagi mereka yang teraniaya.

Aktivitas ini pada dasarnya  merupakan bagian dari upaya untuk meninggikan martabat agama. Sebab, agama ‘diberlakukan’ oleh Tuhan pada dasarnya untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Tuhan sama sekali tidak membutuhkan penyembahan manusia. Manusialah yang membutuhkan Tuhan untuk melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya bagi kemanusiaan. Hal ini pernah ditegaskan oleh K.H. Abdurrahman Wahid, bahwa kehadiran agama tidak lain untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan Tuhan karena Tuhan tidak butuh bantuan manusia.

Dengan demikian, dalam kehidupan ini akan terus terjadi dinamisasi dan progresifasi, baik secara moral, kultural ataupun intelektual dengan tetap tidak melupakan sisi spiritualitas sebagai basik pijakannya. Harapan yang bisa dibangun, dalam kemajuan yang dicapai nanti, tetap tidak terjadi hiruk-pikuk, karena suasana batin masing-masing kita tetap tercerahkan.   

 

Dr. Abdul Wahid Hasan,

Dosen Pascasarjana INSTIKA Guluk-guluk Sumenep, dan penulis buku SQ Nabi.

 

Selengkapnya...