Sabtu, 28 Februari 2009

Mencintai Nabi Yang Juga Manusia

(Refleksi Memperingati Maulid Nabi)

Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah saw. selalu menegaskan kepada para sahabatnya bahwa beliau adalah manusia biasa seperti mereka. Manusia yang juga mengalami kesedihan, sakit, luka, lapar, ingin tidur, makan, menikah, buang air, dan sifat-sifat alami kemanusiaan yang lain. Pesan "kemanusian" beliau ini diabadikan dalam Alquran, "Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian (hanya saja) aku diberi wahyu (Q.S. Al-Kahfi: 110).
Suatu ketika (setelah penaklukan kota Mekkah), beliau pernah mengatakan –kepada seorang laki-laki yang datang menghadap beliau dalam keadaan gemetar dan diliputi rasa takut, untuk menyampaikan keinginannya membai’at beliau--: Tenangkan dirimu! Saya bukan malaikat. Saya hanyalah seorang anak laki-laki dari seorang perempuan Quraisy yang biasa makan al-qadîd (daging yang dikeringkan dipanas matahari dan diberi garam). (HR. Ibn Mâjah).
Sebagai manusia biasa, beliau juga pernah melakukan kesalahan dan kekeliruan, meskipun masih dalam batas-batas kemanusiaan yang sangat wajar. Kesalahan beliau di antaranya diabadikan oleh Allah swt. dalam surat ‘Abasa ayat 1-16, yaitu ketika bermuka masam dan kurang memerhatikan Ibn Ummi Maktûm, seorang sahabat yang buta, yang datang kepada beliau agar beliau membacakan ayat-ayat al-Qur’an.
Inilah sisi kemanusiaan Rasulullah yang seringkali diabaikan oleh para pengikutnya. Mereka lebih suka memuja-muja beliau dengan pujian yang berlebihan dan melampaui batas rasional kemanusian. Rasul sampai dilukiskan sebagai seorang yang "bercahaya" sehingga bayangannya tidak tampak, karena cahaya beliau lebih benderang daripada matahari. Kalaupun misalnya ini benar, itu merupakan –meminjam istilah Annemarie Schimmel-- "materialisasi sifat-sifat spiritual beliau". Itu bagian dari mukjizat yang tidak akan dipamerkan secara terus menerus. Kalau beliau bercahaya seperti matahari, berarti beliau bukan manusia. Tetapi malaikat yang memang diciptakan dengan cahaya.
Rasul sangat tidak suka dipuja secara berlebihan, apalagi sampai dituhankan. Pesan beliau, "Janganlah kalian memujiku berlebihan sebagaimana orang Nasrani memuji Isa a.s. secara berlebihan. Aku adalah hamba-Nya…(HR. Bukhârî, Ahmad dan Ibn Mâjah)
Rasul adalah manusia biasa, seperti kita. Bedanya, beliau telah mampu menaklukkan instink-instink dan kehendak-kehendak diri (nafsu)-nya sehingga pada akhirnya dapat memanfaatkan mereka untuk hal-hal positif dan terpuji, yaitu patuh kepada Allah sepanjang perjalanan hidupnya, baik dalam konsep ataupun dalam praktik kesehariannya. "Penaklukan diri" inilah yang oleh orang sufi disebut sebagai rahasia "perang suci yang paling dahsyat" (al-Jihâd al-Akbar). Inilah perang yang sesungguhnya. Dan Rasul telah memenangkan perang tiada usai tersebut. Rasul telah berhasil melampuai sekat-sekat yang menghalangi antara diri dan Tuhan.
Wajar jika kemudian beliau menjadi manusia sempurna (al-insân al-kâmil), sehingga "kehadirannya selalu menebarkan aura kemuliaan" seperti dinyatakan oleh Martin Lings. Wajar juga jika seluruh aspek kehidupan dan profesi beliau selalu menarik untuk ditelaah dan dibanggakan. Menjadi pengembala kambing, pengusaha sukses, suami, pendidik, panglima perang, pertapa, muballigh, dan lain-lain adalah bagian dari sisi kehidupan beliau yang semuanya berlangsung secara memukau dan elegan. Tidak berlebihan jika Lamartine, sejarawan asal Perancis, memuji beliau dengan menyatakan, is there anyman greather than Muhammad?

Mencintai Rasul Dengan Benar
Cinta Rasul merupakan syarat utama bagi kesempurnaan keberislaman seseorang. Tidak ada orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mencintai rasul-Nya. Demikian juga sebaliknya. Cinta Rasul adalah bagian dari wujud cinta kepada Allah. "Katakanlah (Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu (Q.S. Ali Imrân: 31)
Semua muslim, yang paling awam sekalipun, menyadari bahwa mencintai Rasul merupakan kewajiban. Bahkan jika ada orang yang mencoba menghina beliau, mereka akan segera bergolak untuk tampil menyuarakan pembelaan. Kasus novel Salman Rushdie (The Satanic Verses) dan lukisan wajah beliau oleh seniman Swiss telah terbukti menuai gelombang protes dari muslim seluruh penjuru dunia.
Reaksi seperti itu tidak salah karena itulah salah satu ekspresi dari penghormatan mereka kepada Nabi. Akan tetapi, lebih jauh dari itu, mencintai Rasul sebenarnya bukan hanya dengan membela, merayakan maulid (atau di Turki disebut mevlut) seraya memuja beliau (apalagi memosisikan beliau sebagai super human), membacakan manâqib, mengumandangkan puisi-puisi cinta, dan aktivitas seremonial lainnya, yang seringkali hanya berhenti di kata-kata. Tidak mewujud dalam prilaku kongkrit.
Setidaknya, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan oleh orang yang mengaku mencintai Rasul. Pertama, al-Ittibâ' (mengikuti dan melaksanakan semua ajaran dan pesan-pesan beliau secara utuh dan penuh keikhlasan) dan yang kedua, al-Qudwah (meneladani pola hidup dan kepribadian beliau).
Sebagai orang yang amat mencintai pengikutnya, Rasul akan lebih bangga jika telah menyaksikan pola hidup dan ajaran-ajaran beliau diikuti, dilaksanakan dan terus ditanamkan pada generasi berikutnya, dibandingkan hanya jika beliau dikirimi shalawat, dibacakan biografinya, dan setelah itu semangat pembebasan dari kebodohan, pengembangan cinta dan kasih sayang, kejujuran, keteguhan hati, kedermawanan, kesederhanaan, menghargai orang lain, dan ajaran-ajaran beliau yang lain diabaikan dan dicampakkan dari kehidupan sehari-hari. Rasul akan sangat berduka-cita dan bersedih hati jika melihat pengikutnya telah menjadi orang yang rakus, sombong, suka mencuri, menindas, mendahulukan kepentingan pribadi, saling sikut, berpangku tangan, bodoh, dan prilaku pasif lainnya, yang jauh dan menyimpang dari garis dan ajaran profetisnya..
"Mengikuti" dan "meneladani" merupakan dua hal yang paling prinsip dan mendasar dalam tata proses mencintai Rasul. Sebab, jika ada manusia meniru pola hidup manusia lain (dalam hal ini bernama Muhamamd saw.) hal itu adalah logis, wajar, dan manusiawi karena al-muhib (yang mencintai) dan al-mahbûb (yang dicintai) sama-sama manusia. Yang tidak wajar adalah manusia meniru pola hidup binatang yang rakus dan suka memangsa binatang yang lain. Lebih tidak wajar lagi adalah manusia tidak bisa meniru pola hidup manusia lain yang lebih baik darinya. Jika manusia tidak bisa meniru manusia yang bernama Muhammad saw. berarti salah satu dari keduanya bukan manusia. Bisa saja yang hendak meniru (manusia) telah berada dalam taraf "binatang" atau yang hendak ditiru (Muhammad saw.) bukan manusia.
Sekarang kita tinggal bertanya dalam hati, siapakah yang kemanusiaannya telah hancur dan rusak sehingga tidak bisa meniru manusia lain yang lebih sempurna? Kita yang sudah berubah menjadi srigala, atau Rasul adalah seorang malaikat sehingga kepribadiannya tidak bisa ditiru? Wallâhu a'lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar