Judul Buku : Gara-Gara Ulama, Kerancuan Pemikiran Pemimpin Agama
Penulis : Dr. Nadeer Poerhassan
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : I Juni 2004
Tebal : 318 halaman
(dimuat di harian Media Indonesia, 2004)
Itulah sebabnya, setelah berpuluh-tahun, Nadeer Poerhassan, penulis buku ini hidup di Iran dan mengamalkan segala ajaran ulama dengan baik, lalu dia pindah ke Amerika –negara yang selama ini disebut-sebut sebagai “negara setan” oleh ulama Iran-- dan mengalami persinggungan secara langsung dengan budaya dan tradisi keagamaan yang sama sekali berbeda dengan apa yang selama ini dia terima di negaranya, dia mengalami pergeseran pemahaman tentang Islam yang amat radikal. Semua yang dia ketahui tentang ajaran Islam dari ulama seperti bahwa Islam adalah agama yang agung, hanya Islam yang benar, selian non-Muslim adalah kafir, najis dan harus dimusuhi dan truth claim yang lain menjadi berantakan ketika ternyata di Amerika dia mendapatkan perlakuan yang ramah dari masyarakat di sana. Kebencian terhadap non-Muslim yang selama ini telah ditanamkan oleh para ulama menjadi “cambuk” yang membuatnya mengalami krisis keimanan dan kegelisahan yang luar biasa: masih pantaskan sebuah doktrin yang mengajarkan kebencian pada orang lain disebut sebagai firman Tuhan?
Berangkat dari kegelisahan itulah, Poerhassan mengungkapkan secara gamblang berbagai fakta-fakta ironis keberagamaan yang telah melanda masyarakat muslim secara umum yang, menurutnya, diakibatkan oleh fatwa-fatwa para ulama yang menyesatkan dan melenceng jauh dari Alqur’an. Ulama-lah yang telah memfatwakan bahwa perempuan lebih rendah dibandingakn laki-laki, karena dia, di antaranya, mengalami menstruasi setiap bulan. Pengecualian yang bersifat alami telah mengantarkan para pemimpin agama itu (yang umumnya laki-laki) untuk mengklaim bahwa keimanan perempuan “tidak utuh” dibandingkan laki-laki. Bagaimana mungkin keimanan bisa dikotori oleh darah yang keluar karena proses biologis yang alami? Tanya Poerhasssan dalam buku ini (hal. 88).
Ulama-lah yang telah mengajarkan bahwa perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi, sehingga perempuan yang membuka sekolah harus menghadapi permusuhan terbuka dari para ulama (hal. 74), perempuan tidak boleh keluar rumah, harus menutupi seluruh tubuhnya, tunduk secara penuh pada suami dan lain-lain. Padahal, lanjut Poerhassan, tidak ada satu ayat pun yang mengajarkan hal tersebut.
“Kebencian” Poerhassan pada ulama menyebabkan dia mengkaji dan menyelami Alqur’an sendiri dengan nalar yang lebih plural, toleran, dan berkeadilan. Dan hasilnya cukup menakjubkan! Ratusan atau bahkan ribuan fatwa ulama yang selama ini telah diikuti oleh masyarakat muslim (terutama di Iran) dibantah secara jitu oleh Poerhassan. Bab terakhir dari buku ini dilengakapi dengan tabel fatwa-fatwa ulama yang dianggap “menyesatkan” sekaligus bantahan yang disampaikan oleh Poerhassan.
Maka dengan membaca buku ini mata hati kita akan sedikit terbuka, bahwa selama ini kita telah banyak dibohongi oleh fatwa ulama. Kita terlalu percaya kepada mereka, terlalu mendewakan mereka dan menganggap mereka suci sehingga apapun yang mereka katakan adalah benar dan mesti diterima, tanpa perlu dipertanyakan secara kritis.
Dalam konteks Indonesia, buku ini semakin menemukan momentumnya, ketika para ulama di negeri ini menjadi rebutan dan fatwa-fatwanya amat ditunggu-tungu oleh para capres-cawapres untuk memuluskan jalan mereka menuju kursi presiden.
Meskipun begitu, dalam membaca buku ini, kita tentu juga mesti bersikap hati-hati dan bijaksana, karena bagaimanapun, buku ini juga ditulis oleh seorang ulama!
Rabu, 25 Februari 2009
Fatwa Ulama Yang Menyesatkan
Di mana-mana, di dunia Islam, ulama (atau orang Iran menyebutnya mulla) memiliki peran dan otoritas yang amat tinggi dalam menentukan pola, gaya dan pandangan hidup para pengikutnya, dan pada gilirannya, ikut menentukan perjalanan suatu bangsa dan negara. Fatwa-fatwa suci yang dikeluarkan oleh mereka akan ditelan secara bulat oleh masyarakatnya, apapun isi dan bentuknya. Sayangnya, fatwa-fatwa tersebut seringkali sarat dengan muatan-muatan politik dan kepentingan lembaga atau bahkan dengan kepentingan pribadi. Atau paling tidak ada campur tangan pihak atau lembaga lain yang ikut berperan dalam pengambilan sebuah keputusan (fatwa). Kasus seperti inilah yang memuramkan “wajah Islam”, karena agama dan Tuhan hanya dijadikan alat legitimasi dan “persembunyian”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar