Kamis, 26 Februari 2009

Dimensi Tersembunyi Ibadah Haji


Judul Buku : Haji, Kesaksian Seorang Muallaf
Penulis : Michael Wolfe
Penerjemah : Abdullah Ali dan Hasyim Rauf
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : I, Januari 20‏03
Tebal : 436 halaman
(dimuat di KOran Tempo, 9 Februari 2003)

Ibadah haji merupakan program napak tilas pendiri monoteisme dunia, Nabi Ibrahim bersama isteri dan anaknya. Dengan melaksanakan ibadah haji berarti persyaratan elementer sebagai seorang muslim pada tingkat individual telah terpenuhi. Namun meskipun ibadah haji merupakan kewajiban individual, tetapi pelaksanaannya melibatkan orang banyak. Sehingga tidak aneh kalau setiap sudut dan ruang dari ziarah spiritual agung tersebut memiliki kesan yang mendalam (dan berbeda-beda) di hati masing-masing orang yang melaksanakannya. Termasuk di hati Michael Wolfe, seorang muallaf Amerika, yang hidup dalam keluarga non-muslim; ayahnya Yahudi dan ibunya Kristen.
Buku ini merekam secara baik seluruh perjalanan spiritual yang dilakukan Wolfe ke tanah suci Mekkah, baik perjalanan teretorial ataupun perjalanan simbolik. Semua fase-fase perjalanan ziarah spiritual yang dilakukannya, mulai dari pre-liminal (prapelaksanaan), liminal (pelaksanaan) dan post-liminal (pascapelaksanaan) – atau rites de passage dalam istilah Arnold van Gennep untuk menyebut serangkaian pelaksanaan ibadah haji—dituangkan secara utuh di dalam buku ini, melalui sudut pandang dia sebagai sorang penulis Barat yang sangat akrab dengan pluralisme.
Bagi Wolfe, haji adalah ritual yang unik di antara lima rukun Islam. Persaksian, salat, puasa, dan zakat sama-sama berbagi menanggung basis etika. Haji melampaui semua itu, melampuai masyarakat. Makna di dalamnya adalah sebagai titik balik, suatu ritual perjalanan yang diselesaikan dengan dua kaki. Saya secara khusus mengagumi peluh dan simbol-simbol yang mengalir bersama. Ibadah haji telah menyediakan suatu kebaktian yang telah hilang di Barat sejak masa perjalanan suci ke Yerusalem di Abad Pertengahan.
Sesuai dengan latar belakang kehidupannya, nampak bahwa dari sekian rangkaian ibadah haji, yang paling banyak memberikan kesan mendalam dalam kehidupannya adalah sejak dia memulai memakai pakaian ihram, sebagai titik awal pelaksanaan haji. “Pakaian ihram memiliki pengarauh yang kuat pada saya. Di satu sisi ia mengakhiri masa-masa persiapan saya. Di sisi lain ia juga mengakhiri diri saya sendiri. Pakaian seragam meniadakan perbedaan kelas, dan budaya. Yang kaya dan miskin berkumpul bersama di dalamnya, tampak seperti orang-orang yang menyesal dalam sebuah lukisan Bosch. Pakaian ihram sama demokratisnya dengan kain kafan”. (hal. 209)
Wolfe memang sangat tidak simpati terhadap orang-orang Eropa maupun Amerika yang menjadikan ras sebagai kategori sosial. Mereka cendrung mengkotak-kotakkan orang berdasarkan ras. Sementara di dalam Islam, Wolfe merasakan secara langsung perlakuan dan sambutan yang hangat dan bersahabat dari muslim yang lain (misalnya ketika Wolfe di Maroko, Afrika ataupun ketika di Eropa). Karena, bagi Wolfe, orang-orang Islam menggolongkan manusia berdasarkan kualitas iman dan amalnya. “Dengan latar belakang seorang pluralis, tentu saja saya sangat menekankan persoalan rasisme dan kebebasan” tuturnya dengan meyakinkan. Berangkat dari kekaguman inilah, Wolfe mendukung pernyataan Malcolm X yang cukup ‘provokatif’: “Amerika perlu memahami Islam, karena inilah satu-satunya agama yang menghapuskan persoalan ras dari masyarakat.” (22)
Wukuf di padang Arafah di tengah lautan manusia yang nyaris tak bertepi dengan segala ragam jenis ras, suku , kulit, bahasa dan lain-lain, juga memberikan kesan mendalam di hati Wolfe. Arafah, baginya merupakan gambaran mini mahsyar, tempat orang-orang datang menghadap Tuhan dengan penuh ‘ketelanjangan’: tidak memiliki apa atau siapa. Semua topeng dan atribut kemanusiaan yang sering dimanfaatkan untuk membodohi orang lain atau menyembunyikan ‘borok’ di dalam dirinya, sekarang tidak bermakna. “Arafah adalah merupakan bentuk luar pelatihan untuk menghadapi Hari Pengadilan “ kata Wolfe dengan kesan medalam tentang peristiwa besar tersebut.(h. 311).
Walaupun Wolfe baru beberapa bulan masuk Islam, namun gaya penuturannya yang lembut, jujur, polos dan (bahkan) lugu, justeru semakin menambah nilai otentisitas pengalaman petualangan spiritual yang dia jalani. Dengan buku ini Wolfe banyak memberikan informasi ‘baru’ kepada kita tentang sisi -sisi terdalam dari spiritualitas dan relijiusitas ibadah haji yang selama ini masih tersembunyi. Tapi tentu belum semunya!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar