Selasa, 17 Februari 2009

MEMILIH PILIHAN SECARA SPIRITUAL

Sisi Penting Shalat Istikharah
Dalam menjalani hidup dan kehidupan, manusia sering dibenturkan dengan berbagai persoalan hidup yang seringkali menuntut mereka untuk memilih satu dari sekian alternatif pilihan yang ada. Pilihan-pilihan yang ada di depan mata, terkadang “baik” menurut ukuran logika dan jalan pikirannya, tetapi terkadang juga “tidak baik”. “Baik” dan “tidak baik” dalam ukuran logika dan mata telanjang manusia amat relatif. Apa yang baik menurut ukuran standar logika, belum tentu baik menurut ukurang standar agama, menurut Allah. Demikian juga sebaliknya. Itulah sebanya Allah menjelaskan kepada kita agar tidak terlalu mengandalkan logika dalam memutuskan sesuatu. Sebab, “…boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (Q. S. al-Baqarah [2]: 216)

Dalam ayat di atas amat jelas ditegaskan, hanya Allah yang betul-betul mengetahui, kita tidak tahu apa-apa. Sehingga, apa yang tampak baik di mata kita, belum tentu hal itu baik bagi kita, termasuk bagi Allah. Demikian juga sebaliknya.
Apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar seringkali mempengaruhi kita untuk memutuskan: itu baik dan ini tidak baik; itu baik tetapi yang ini lebih baik, dan sebagainya. Padahal mata dan telinga kita masih belum mampu melihat dan merekam apa yang baik dan benar. Mata dan telinga seringkali menipu. Sebagai contoh. Seorang pemuda yang terlanjur jatuh cinta kepada seorang gadis, akan selalu melihat gadis itu sebagai gadis yang sempurna, lembut, ramah, bahkan agamis, dan sifat-sifat baik lainnya. Cinta yang telah merasuk ke dalam hatinya, membuatnya tidak lagi obyektif melihat sesuatu. Segala sesuatu yang dilakukan dan dikatakan oleh si gadis pujaannya, adalah kebaikan. Mata pemuda tersebut telah buta untuk melihat kekurangan yang ada pada gadis itu. Jika dia melakukan shalat istikharah, pastilah dia akan selalu mengatakan “istikharah saya baik”. Bahkan mungkin dalam doanya dia tidak berdoa seperti yang diajarkan Rasulullah saw., “Jika apa yang akan saya kerjakan ini baik maka mudahkanlah dan jika jelek maka jauhkanlah”. Dia malah berdoa seperti ini, “Jika ia baik maka jodohkanlah dan jika tidak baik, maka baikkanlah”.
Doa seperti ini mungkin tidak terlalu keliru karena Allah Mahamengerti dan Mahapenyang. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa selama ini, kita lebih mengandalkan “mata telanjang” kita untuk memutuskan suatu persoalan. Ketika seperti itu, kita seringkali lupa untuk memohon pilihan yang terbaik kepada Allah Swt. Kita lupa untuk berdoa semoga keputusan untuk melakukan sesuatu tersebut itu baik, tidak hanya untuk kehidupan duniawi saja, tetapi lebih penting dari itu, adalah untuk kebahagiaan di akhirat kelak. Selama ini kita lebih mengandalkan logika perkiraan saja. “Kalau saya membuka restoran di dekat jalan raya itu, maka pastilah aku akan menjadi kaya raya. Sebab, jalan tersebut ramai dan pasti banyak orang yang membutuhkan jenis makanan yang akan saya jual”.
Logika perencanaan seperti ini tidaklah keliru. Akan tetapi, sebelum memutuskan untuk membuka restoran tersebut, alangkah baiknya jika Anda merendahkan diri di hadapan Allah, dengan penuh ketulusan, dengan penuh harap, dan mengakui secara jujur bahwa Anda tidak tahu apa-apa. Hanya Allah yang tahu. Bahwa Anda lemah, tidak mampu dan lain sebagainya. Selanjutnya Anda memohon kepada Allah agar diberi jalan yang mudah jika itu baik. Dan mohon segera dihilagkan keinginan hal tersebut, jika sekiranya akan berdampak negatif pada kehidupan Anda selanjutnya.
Saya teringat dengan seorang teman di kampung, yang hendak menjadi TKI, dan bekerja di Malaysia. Dengan memakai logika matematis dia memantapkan niatnya. Dia berpikir, jika saya bekerja di sana, saya akan mendapatkan gaji minimal 2 juta setiap bulan. Jika satu tahun saya akan dapat mengantongi uang sebanyak 24 juta. Belum lagi uang tak terduga. Dalam waktu dua tahun saja saya bekerja di sana, saya akan menjadi orang yang kaya di kampung.

Setelah ia berangkat, masalah mulai muncul. Isteri yang ditinggalkannya kemudian hamil. Anak laki-lakinya yang menginjak remaja kemudian menjadi anak liar. Uang yang ia kirimkan dari Malaysia kemudian justru semakin menjadikan anak laki-lakinya semakin menjadi liar. Selain itu, di Malaysia, karena sudah tidak tahan berpisah dua tahun dengan isterinya, akhirnya dia menikah lagi secara diam-diam. Isterinya yang mendengar ia menikah lagi, marah-marah dan menyuruhnya untuk segera pulang.
Ia pulang. Melihat isterinya masih marah, ia kemudian mengemukakan berbagai alasan untuk mencari pembenaran atas keputusannya menikah lagi; takut zina, biar ada yang ngurusi dirinya, dan alasan-alasan apologis lainnya. Termasuk karena ia mendengar bahwa isterinya hamil ketika ia masih di Malaysia. Ia secara tidak langsung menuduh bahwa isterinya telah berselingkuh dengan laki-laki lain.
Mendengar tuduhan itu si isteri semakin marah. Karena ia hamil akibat hubungan intim yang dilakukan dengan suaminya pada hari-hari terakhir sebelum ia berangkat ke Malaysia. Keluarga tersebut semakin tidak harmonis.
Beberapa bulan kemudian, si isteri memutuskan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Gaji lancar. Tetapi, suami yang ditinggalkannya, menjalin hubungan dengan perempuan lain, dan menikah lagi secara diam-diam. Lagi-lagi, uang dari Arab Saudi yang ia kirimkan, lebih banyak dihabiskan oleh suaminya yang sudah punya isteri. Sekarang, di samping rumah tangganya sudah hancur, anak laki-lakinya yang semakin tak terurus sudah mulai “menyanyi” untuk dibeliin motor, HP, dan lain-lain. Keliaran pun semakin bertambah. Di manakah letak kebahagiaan yang sesunguhnya? Ini masih kebahagiaan di dunia. Bagaimana dengan kebahagiaan di akhirat? Sanggupkah suami-isteri tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah? Bukankah mereka berdua yang menjadi penyebab utamanya “keliaran” anaknya? Bukankah mereka berdua telah menyia-nyiakan amanah? Bukankah mereka berdua telah saling menyalahkan? Dan lain-lain.
Di sinilah sisi terpenting, mengapa dalam melakukan sesuatu --apalagi sesuatu tersebut terkait dan melibatkan orang lain-- kita mesti meminta petunjuk kepada Allah dengan melakukan shalat isitikharah. Rasulullah saw. bersabda:
“Termasuk kebahagiaan Ibnu Adam adalah istikharahnya kepada Allah. Termasuk kebagiaan Ibnu Adam adalah kerelaannya terhadap apa yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Dan termasuk kecelakaannya Ibnu Adam adalah tidak melakukan istikharah kepada Allah. Termasuk kecelakaannya Ibnu Adam adalah ketidakrelaannya (marahnya) terhadap apa yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya.” (H.R. Tirmidzî, Ahmad, Hâkim, Abû Ya’lâ, Ibn Hibbân dan al-Bazzâr).

Kita dianjurkan untuk melakukan shalat istikharah dalam mengahadapi semua persoalan, bahkan persoalan yang tampak “remeh” dan kecil. Sebab, bisa saja, dari persoalan yang remeh dan kecil tersebut, kata imam al-Syawkânî, akan lahir dampak negatif yang amat besar. Oleh karena itu, Rasulullah saw. berpesan kepada kita, “Hendaklah salah seorang kalian meminta kepada Tuhannya sampai masalah urusan tali sandalnya”. Bahkan, kata Sayyid ‘Alawî al-Mâlikî, orang-orang salaf selalu meminta kepada Allah, sampai dalam masalah “garam untuk makanannya”, dan yang lebih “remeh” dari hal itu. Setelah itu mereka melakukan hal-hal kongkrit yang bisa menjadi penyebab tercapainya apa yang telah mereka minta kepada Allah.

Prosesi Pelaksanaan Shalat Istikharah. Perintah pelaksaan shalat istikharah dalam menghadapi berbagai persoalan adalah mengikuti petunjuk yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada Jâbir r.a. Hadis lengkapnya adalah sebagai berikut:
عَنْ جَابِرٍ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَالسُّورَةِ مِنَ الْقُرْآنِ إِذَا هَمَّ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ

Dari Jâbir r.a. Ia mengatakan, “Nabi saw. mengajarkan shalat istikharah kepada kami dalam mengahdapi semua persoalan, sebagaimana beliau mengajari surat surat Alquran. Apabila salah seorang bermaksud pada suatu persoalan maka hendaknya ia melakukan shalat sebanyak dua rakaat setelah itu ia berdoa, “Ya Allah, aku memohon pemilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku mohon keputusan dari-Mu dengan kekuasaan-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu sebagian dari keutamaan-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa dan aku tidak punya kekuatan. Engkau Mahamengetahui dan aku tidak tahu. Engkau Mahamengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa persoalan ini adalah baik bagiku dalam agama, kehidupan, dan akhir dari urusanaku, (atau beliau bersabda, “dan urusanku di dunia dan dan di akhirat) maka takdirkanlah ia untukku. Dan jika Engkau mengetahui bahwa persoalan ini adalah jelek bagiku, dalam agama, kehidupan, dan akhir dari urusanaku, (atau beliau bersabda, “dan urusanku di dunia dan dan di akhirat) maka palingkanlah (hindarkan) ia dariku dan palingkan aku darinya. Lalu tentukanlah yang baik bagiku dimanapun ia ada, kemudian restuilah aku dalam hal tersebut. (setelah itu ia hendaknya menyebutkan hajatnya).

A. Waktu
Waktu pelaksanaan shalat istikharah adalah bebas, kapan saja. Yang penting bukan dalam waktu-waktu yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi alangkah baiknya jika dilakukan di malam hari. Sebab, bisa saja Allah memberikan petunjuk melalui mimpi yang merupakan ilham. Mimpi adalah bagian “bagian dari kenabian”. Mimpi yang baik sangat mungkin terjadi karena Anda tidur dalam keadaan punya wudhu, suci, masih tetap dalam kondisi minta petunjuk. Bahkan mungkin Anda terlelap dalam keadaan berdzikir kepada Allah. Dalam keadaan seperti itu, Anda tidur dengan ditemani para malaikat Allah (baca lagi di bab shalat tahajjud)

B. Jumlah Rakaat, Surat yang Dibaca, dan Doa shalat Istikharah.
Shalat isitikharah hanya dua rakaat. Rasulullah saw. tidak memberikan petunjuk tentang surat-surat yang mesti dibaca pada kedua rakaat tersebut. Akan tetapi, para ulama banyak beritihad sendiri dan melakukan “eksperimen”. Hasil ijtihad dan “ujicoba” yang mereka tentu baik juga kita tiru. Walaupun, kita juga punya hak untuk berijtihad sendiri.
Yang paling banyak, mereka mengatakan bahwa pada rakaat pertama mebaca surat al-Kâfirûn dan pada rakaat kedua membaca surat al-Ikhlâsh. Tetapi yang lebih sempurna, kata Sayyid Muhammad Abdullâh al-Jurdanî, Sayyid ‘Alawî al-Mâlikî, syeikh al-Kurdî, dan ulama yang lain, pada rakaat pertama, sebelum membaca surat al-Kâfirûn, membaca:
                                         
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).
Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan.
Dan dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (Q. S. al-Qashash [28]: 68-70)
Dan pada rakaat kedua, sebelum membaca surat al-Ikhlâsh, membaca:

         •             •  

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (Q. S. al-Ahzâb [33]: 36)


Hasil ijtihad mereka ini tentu baik, dan pastilah mereka mengatakan seperti itu berdasarkan hasil perenungan yang mendalam, sesuai dengan ilmu dan pengalaman yang mereka miliki. Tidak mungkin mereka semua bersepakat untuk melakukan “yang tidak baik”.
Saya sendiri merasa cocok dengan hasil ijtihad para ulama di atas. Cuma, ketika mengahdapi persoalan yang amat penting dan melibatkan orang banyak, saya merasa “kurang” jika hanya membaca surat-surat tersebut. Saya suka mengikuti ulama yang menyarankan agar dalam shalat istikharah, kita membaca surat Yâsîn. Separuh surat Yâsîn tersebut dibaca pada rakaat pertama, dan separuhnya lagi dibaca pada rakaat kedua. Ada lagi ulama yang menyarankan agar pada rakaat pertama membaca ayat al-Kursî dan pada rakaat kedua membaca:
         •             •   .
Sayyid ‘Alawî juga menyarankan, agar selama proses istikharah ini, kita memperbanyak membaca ayat (yang dibaca oleh ashabul kahfi ketika mereka sampai di gua):
         
"Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)."

Akhirnya, semuanya bergantung pada Anda sendiri. Surat apakah yang lebih menyenangkan dan meyakinkan bagi Anda, itulah yang seharusnya Anda baca.
Setelah itu, Anda berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada Jâbir r.a di atas. Doa tersebut mulai dari kata Allâhumma innî…. Dan jangan lupa, sebelum doa itu dibaca, mulailah dengan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Rasulullah saw. Setelah itu, bacalah doa tersebut dengan khusyu’ dan kalau perlu diulang-ulang, sampai Anda betul-betul merasakan kehadiran Allah dekat dengan Anda; sampai Anda betul-betul merasakan bahwa Anda sedang berdua-duan dengan Allah dan sedang mengajukan sebuah “proposal” permohonan bantun petunjuk.

Apa yang Kita Lakukan Setelah Shalat Istikharah?
Sebagaimana dijelaskan di atas, tujuan utama dilaksanakannya shalat istikharah adalah agar kita mendapatkan pilihan terbaik dalam melakukan sesuatu. Terbaik untuk dunia kita, kehidupan, keluarga, agama dan akhirat kita. Pilihan terbaik tersebut bisa kita ketahui setelah melaksanakan shalat tersebut. Bisa saja pilihan tersebut diberitahukan oleh Allah melalui mimpi. Oleh karena, selama masa isitikharah ini, sebaiknya kita tidur dalam keadaan punya wudu’ dan menghadap ke arah kiblat. Jika kita melihat “warnah putih” atau “hijau” di dalam tidur kita maka berarti apa yang akan kita lakukan adalah baik dan jika melihat melihat “warna hitam” atau “warnah merah” berarti itu jelek.
Akan tetapi, mimpi seperti itu terkadang tidak mudah datang. Butuh kebersihan dan dan kesucian hati. Akan tetapi, ada orang-orang tertentu yang amat mudah mendapatkan petunjuk melalui mimpi. Almarhumah Ibu saya (semoga Allah senantiasa menyayangi beliau), termasuk orang yang amat mudah mendapatkan petunjuk melalui mimpi. Banyak peristiwa-peristiwa yang belum terjadi, dan masih akan terjadi, baik pada keluarga sendiri ataupun akan terjadi pada tetangga, sudah diketahui oleh beliau melalui mimpi. Tetapi ayah saya agak sulit mendapatkan petunjuk melalui mimpi.
Oleh karena itu, mimpi bukan satu-satunya “petunjuk” dalam rangka kita mengambil keputusan: melanjutkan rencana kita atau menggagalkannya. Imam Nawâwî mengatakan bahwa ketika kita sudah selesai melaksanakan shalat istikharah, maka lakukanlah apa yang menurut hati kita lebih menenangkan. Dan jika masih belum menemukan keputusan, masih ragu-ragu, maka sebaiknya shalat tersebut terus dilaksanakan hingga hati kita merasa tenang dan mantap. Rasulullah saw. pernah berpesan kepada Anas r.a., “Anas, jika kamu bermaksud pada suatu urusan, lakukanlah shalat isitkharah sebanyak tujuh kali. Kemudian perhatikanlah kemana kecenderungan hatimu. Kebaikan ada di sana”.
Jika setelah diulang-ulang ternyata hati kita masih belum menemukan “kemantapan”, masih ragu-ragu, maka ditunda dulu sementara, atau kita tawakkal kepada Allah dan memilih untuk melakukan apa yang paling mudah dan mungkin untuk dilakukan. Maka dengan barokah shalat istikharah, kebaikan akan ada dalam keputusan yang kita ambil tadi.
Ada baiknya juga kita meminta tolong shalat istikharah ini kepada orang lain, terutama orang saleh, yang tidak memiliki kepentingan apa pun dengan apa yang akan kita lakukan. Misalnya, ketika Anda ingin melamar seorang gadis dan Anda sudah melihat gadis tersebut sebagai gadis yang cantik, maka istikharah Anda akan dipengaruhi oleh penglihatan mata Anda. Dalam kondisi seperti ini, di samping Anda tetap memohon petunjuk kepada Allah, maka ada baiknya jika Anda minta tolong kepada orang lain, yang Anda percaya sebagai orang baik. Tentu saja, musyawarah dengan anggota keluarga yang lain amat dibutuhkan sebagai dukungan moral atas apa yang akan Anda lakukan. Cara seperti inilah yang selalu dipesankan oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Tidak akan rugi orang yang melakuan shalat isitkharah dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah”. Isikharah dan musyawarah merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika saya menikah dengan seorang perempuan yang tidak direstui oleh kedua orang tua saya. Saya termasuk orang yang tidak bisa bertahan tanpa restu kedua orang tua. Dan saya termasuk orang yang amat mementingkan hasil isitkharah dalam mengambil keputusan, terutama keputusan besar, seperti menikah.
Pada tahun 1996, setelah melalui musyawarah keluarga dan istikharah, saya bertunangan dengan seorang perempuan, yang belum saya kenal; dari sisi ekonomi, ketika itu ia biasa-biasa saja; Wajah, kata orang yang mengenalnya, standar; Akhlak baik, dan dari keluarga baik-baik. Setelah bertunangan, saya merasakan “kebaikan” yang amat banyak. Saya sering mendapat doa dari multazam, mendapatkan buku-buku penting berbahsa Arab sehingga saya berhasil menerjemahkan banyak buku, semakin rajin dalam belajar, dan dampak positif lain yang saya rasakan, terutama dalam aspek kematangan emosional dan spiritual. Meskipun pada akhirnya, setelah 8 tahun bertunangan, ia akhirnya bosan juga, dan pertunangan pun putus dengan tidak mengenakkan. Ketika itu, saya sama sekali tidak perlu untuk merasa menyesal, karena saya merasa yakin betul, bahwa sampai di situlah kebaikan yang hendak Allah berikan kepada saya, hasil dari istikharah saya dulu
Saya pun kemudian bertunangan lagi dengan seorang santri, yang belum pernah saya kenal. Modalnya tetap sama: musyawarah dan istikharah. Setelah hasil tim istikharah memutuskan “baik” (termasuk istikharah saya sendiri), saya pun mengambil keputusan untuk melamarnya. Tiga hari tunangan, langsung menikah: tanpa perkenalan terlebih dahulu, apalagi pacaran. Hasilnya, luar biasa lagi.Saya menemukan kebahagiaan dan ketenangan yang amat tak ternilai. Yang sepertinya, tidak akan saya rasakan jika saya menikah dengan tunangan pertama saya. Berat badan saya, dalam hitungan hari, langsung bertambah. Saya menjadi lebih bugar, tidak hanya fisik, tetapi mental dan spiritual saya.
Apa yang saya alami, tentu tidak akan mudah dialami oleh orang lain, termasuk Anda. Dalam mengambil keputusan seperti itu, banyak orang yang suka berkenalan dulu dengan calon isteri, kalau perlu pacaran selama beberapa tahun, kalau perlu “dicicipi” dulu, kalau perlu hamil dulu, baru setelah itu menikah. Keyakinan kepada hasil istikharah ini, tentu tidak bisa begitu saja hadir dan menembus ke dalam hati. Ini membutuhkan proses yang panjang, dan kalau perlu, membutuhkan pengalaman spiritual yang kongkrit dan nyata.
Saya yakin pada istikharah, karena saya yakin pula, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan shalat istikharah adalah berangkat dari kesucian hati, dari bimbingan Allah, bukan dari kehendak diri beliau, apalagi dari hawa nafsunya. Saya merasa tidak perlu ragu-ragu dalam hal seperti ini.

Bagaimana jika waktu yang tersedia amat singkat, sementara kita dituntut untuk mengambil keputusan secepatnya? Apakah kita harus shalat istikharah dulu?
Jika masih memungkinkan, sebaiknya kita meluangkan waktu sekitar 5 menit untuk shalat istikharah dulu. Jika amat tidak mungkin, maka bismillah saja, dan ambillah keputusan dengan menjadikan “agama” dan maslahah buat orang banyak sebagai pertimbangan utama. Selanjutnya, Anda berdoa semoga keputusan tersebut mendapat restu dari Allah sehingga berimpliksi baik bagi kehidupan Anda. Dalam konteks ini, doa yang baik untuk dibaca adalah doa yang diajarkan oleh Sayyid ‘Alawî al-Mâlikî:
تَوَكَّلْتُ فِى أَمرِيْ هَذَا عَلىَ اْلحَيِّ اْلقَيُّوِم وَأَلْجَأْتُ نَفْسِي فِيْهِ عَلَى ْالحَيِّ اْلقَيُّوِم اَّلذِي لاَ يَمُوْتُ

Aku bertawakkal kepada AllahYang Mahahidup dan Mahaberdiri Sendiri/Yang Mahamemenuhi Kebutuhan Makhluk dalam persoalanku ini dan aku pasrahkan diriku dalam persoalan ini kepada AllahYang Mahahidup dan Mahaberdiri Sendiri/Yang Mahamemenuhi Kebutuhan Makhluk dan yang tidak mati.

Akan tetapi, ada cara lain yang sebenarnya merupakan langkah antisipasi dalam mengahdapi persoalan seperti di atas. Cara tersebut --seperti dikatakan oleh al-Syeikh al-Akbar , sebagaimana dikutip oleh Sayyid ‘Alawî al-Mâlikî dalam bukunya, Syaraf al-Ummah al-Muahammadiyyah--, adalah kita melakukan shalat istikharah setiap hari, dengan memohon agar apa pun yang akan kita lakukan, dan apa pun yang orang lain akan lakukan pada kita, jika baik semoga ada jalan, dan jika jelek semoga segera dihindarkan dan diganti dengan yang lebih baik. Pernyataan beliau seperti ini:
“Bagi ahlullâh (“keluarga” Allah), sudah seharusnya mereka melakukan shalat istikharah setiap hari, dalam waktu yang mereka tentukan sendiri, siang atau pun malam… Jika mereka melakukan hal tersebut maka apa pun yang ia lakukan, dan apa pun yang dilakukan oleh orang lain kepadanya, akan mengandung kebaikan yang nyata, baik yang ia lakukan tersebut berupa “keputusan untuk tidak melakukan” atau pun berupa “keputusan untuk melakuan”. Aku sudah mencobanya!”
Doa yang diajarkan oleh Syeikh al-Akbar di atas sedikit diubah, tetapi tetap terinspirasi dari doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Doa tersebut adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ جَمِيْعَ مَا أَتَحَرَّكُ فِيْهِ فِىْ حَقِّي وَفِى حَقِّ غَيْرِي وَجَمِيْعَ مَا يَتَحَرَّكُ غيْرِي فِى حَقّيِ وَفِى حَقِّ أَهْلِي وَوَلَدِْي وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنِي خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ مِنْ سَاعَتِي هَذِهِ إِلَى مِثْلِهَا مِنَ اْليَوْمِ اْلآخَرِ فَيَسِّرْهُ لِي وَاقْدُرْهُ لِيْ وَرَضِّنِي بِهِ. إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ جَمِيْعَ مَا أَتَحَرَّكُ فِيْهِ فِىْ حَقِّي وَفِى حَقِّ غَيْرِي وَجَمِيْعَ مَا يَتَحَرَّكُ غيْرِي فِى حَقّيِ وَفِى حَقِّ أَهْلِي وَوَلَدِْي وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنِي شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَمَعَاشِي وَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ مِنْ سَاعَتِي هَذِهِ إِلَى مِثْلِهَا مِنَ اْليَوْمِ اْلآخَرِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ.

“Ya Allah, aku memohon pemilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku mohon keputusan dari-Mu dengan kekuasaan-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu sebagian dari keutamaan-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa dan aku tidak punya kekuatan. Engkau Mahamengetahui dan aku tidak tahu. Engkau Mahamengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa semua yang aku kerjakan, yang menyangkut hakku dan hak orang lain, serta semua yang akan orang lain lakukan kepadaku, dalam hakku, hak keluargaku, hak anakku dan hak yang berada dalam kekuasaanku, adalah baik bagiku dalam agama, duniaku, kehidupanku, urusanku di dunia dan di akhirat, sejak saat ini, sampai saat yang sama pada hari yang lain, maka mudahkanlah ia untukku, takdirkanlah ia untukku, dan restuilah ia untukku. Dan jika jika Engkau mengetahui bahwa semua yang aku kerjakan, yang menyangkut hakku dan hak orang lain, serta semua yang akan orang lain lakukan kepadaku, dalam hakku, hak keluargaku, hak anakku dan hak yang berada dalam kekuasaanku, adalah jelek bagiku, dalam agama, duniaku, kehidupanku, urusanku di dunia dan di akhirat, sejak saat ini, sampai saat yang sama pada hari yang lain, maka hindarkanlah ia dariku dan hindarkan aku darinya, dan tentukanlah yang baik bagiku dimanapun ia ada, kemudian restuilah aku dalam hal tersebut”.

Sungguh sebuah doa yang amat indah dan menunjukkan kehinaan, ketidakmampuan, dan ketidaktahuan kita di hadapan Allah. Sudah saatnya Anda menghafalkan doa di atas, dengan memahami arti atau maknanya, agar ketika Anda berdoa, Anda sadar betul dengan apa yang sedang Anda minta.
Selanjutnya Sayyid ‘Alawî al-Mâlikî memberi komentar atas persoalan ini, “Oleh karena itu, sudah seharusnya, engkau wahai saudaraku, menentukan waktu khusus, di awal siang, setelah shalat Dhuhur, setelah shalat Maghrib, atau setelah shalat Isya untuk melakukan dua rakaat shalat istikharah. Setelah itu berdoa dengan doa seperti yang diajarkan oleh syeikh al-Akbar di atas. Tetaplah melakukan hal tersebut setiap hari, karena banyak sekali kebaikan yang tersimpan di dalamnya”.
Sejak saya membaca tulisan beliau, sekitar tiga belas tahun yang silam, saya langsung melakukan pesan beliau ini dan terus berlangsung hingga saat, dan insya Allah, semoga akan terus berlangsung sampai saya meninggal dunia. Dengan melakukan shalat istikharan setiap malam, saya merasa tidak perlu ragu lagi dalam melangkah, mengambil keputusan, atau pun menentukan pilihan. Saya selalu merasa yakin, apa pun keputusan yang saya ambil, adalah berdasarkan bimbingan dari Allah Swt. Saya tidak perlu menyesal, sedih berkepanjangan, atau pun “memberontak” –apalagi mau bunuh diri-- ketika yang saya lakukan menemukan kegagalan, karena saya yakin di situlah kebaikan yang hendak Allah berikan kepada saya. Dan saya tetap tidak lupa diri ketika apa yang saya lakukan menemukan kesuksesan. Saya tidak lupa untuk bersyukur kepada-Nya (tentunya dengan kadar syukur yang amat rendah, sesuai dengan maqam saya).
Apalagi yang perlu kita takutkan jika kita merasa selalu berada dalam bimbingan Allah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar