Judul Buku : Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama
Pengarang : Fathimah Usman
Penerbit : LKiS, April 2002
Tebal : xii +154 halaman
(dimuat di situs at-tin.org)
Dalam sejarah mistik Islam, Al-Hallaj termasuk salah satu tokoh sufi termasyhur yang kontroversial. Renungan-renungan sufistiknya menjadi kajian yang selalu menarik dan aktual, baik di dunia Timur ataupun di Barat. Lois Massignon misalnya, sampai menghabiskan waktu sekitar 47 tahun untuk berkenalan dengan pikiran-pikiran atau ajaran al-Hallaj secara lebih mendalam. Hasil perkenalannya itu kemudian dituangkan dalam karya besarnya The Passion of Al-Hallaj.
Salah satu ajaran al-Hallaj yang banyak mengundang reaksi hebat dari berbagai kalagan (termasuk dari kalangan sufi sendiri) adalah wahdat al-adyan (kesatuan agama). Bagi al-Hallaj agama yang bermacam-macam sesungguhnya hanya manifestasi dari perbedaan nama Tuhan yang satu. Semua agama adalah agama Allah. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara monoteisme dan poleteisme. Karena ajarannya yang ekstrim-radikal dan sekular ini, al-Hallaj kemudian dituduh sebagai sufi yang terkutuk, sesat dan menyesatkan hingga akhirnya hakim kerajaan memvonis hukuman mati.
Semangat ajaran wahdat al-adyan-nya al-Hallaj inilah yang dijadikan pijakan utama penulis buku ini dalam upaya membangun rumusan keberagamaan yang pluralistis, terutama di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang majmuk dan plural.
Selama ini masih sangat terasa bahwa makna kerukunan hidup antarumat beragama telah berubah menjadi mitra ideologis yang ekslusif, sehingga lebih nampak bersifat formal, verbal dan tekstual. Sekat-sekat yang mengganjal proses menuju saling pengertian antarumat beragama masih terasa sangat tebal. Berbagai gejolak sosial dan konflik berbau SARA yang terjadi selama ini adalah akibat kesalahan pemakanaan terhadap inti ajaran agama. Dimensi eksoteris agama selalu menjadi titik pandang yang lebih dominan dibandingkan dimensi esoterisnya. Roh atau inti ajaran agama yang memiliki kesatuan yang bersifat moral, teologis dan metafisik dalam arti yang sebenarnya menjadi terlupakan atau hilang sama sekali. Akibatnya, “Klaim Kebenaran” (Truth Claim) dan saling menyalahkan agama lain menjadi begitu menonjol dan tumbuh subur di kalangan umat beragama.
Konsep atau ajaran Wahdat al-adyan mengajak semua pemeluk agama untuk patuh dan konsisten pada ajaran agamanya masing-masing, tanpa dilumuri oleh nafsu menyerang dan menyalahkan agama lain. Wahdat al-Adyan bukan berarti tidak mengarah pada upaya menyatukan agama-agama (hal.2) Wahdat al-wujud ingin menjembatani kemungkinan terbukanya jalur komunikasi yang dialogis antarumat beragama, guna menemukan ‘titik temu’ di antara mereka sehingga mengantarkan mereka pada pemaham keagamaan yang jauh lebih tinggi dan adikodrati : pemahaman kepada yang Absolut.
Dengan komitmen keberagamaan seperti itu, sikap inklusif yang lebih fleksibel, akomudatif, kondusif dan lebih ‘manusiawi, akan mewarnai kehidupan ummat beragama, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai ajaran agama yang menjadi keyakinannya. Inilah sebenarnya mutiara terpendam yang hendak digali, digosok dan diaktualisasikan kembali oleh buku ini, sebagai ajaran alternatif guna meningkatkan mutu keberagamaan ummat beragama.
Karena penerapan ajaran wahdat al-adyan, terutama di Indonesia, diakui penulis sebagai sesuatu yang bukan tanpa resiko, betapapun baiknya ia, maka di akhir buku ini penulis merekomendasikan kepada semua pihak, terutama para pemimpin keagamaan untuk ikut berperan aktif dalam mendukung dan memasyarakatkan konsep tersebut, misalnya dengan memanfaatkan organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan organisasi keagamaan yang lain. Ini penting karena loyalitas masyarakat Indonesia terhadap pemimpinnya (terutama pemimpin keagamaan) masih sangat kuat. Dengan demikian, peluang diterimanya konsep wahdat al-adyan oleh masyarakat akan semakin terbuka. Dan selanjutnya, di kemudian hari, keharmonisan dan kedamaian hidup di kalagan umat beragama akan menjadi sebuah kenyataan, bukan sekedar cita-cita
Pengarang : Fathimah Usman
Penerbit : LKiS, April 2002
Tebal : xii +154 halaman
(dimuat di situs at-tin.org)
Dalam sejarah mistik Islam, Al-Hallaj termasuk salah satu tokoh sufi termasyhur yang kontroversial. Renungan-renungan sufistiknya menjadi kajian yang selalu menarik dan aktual, baik di dunia Timur ataupun di Barat. Lois Massignon misalnya, sampai menghabiskan waktu sekitar 47 tahun untuk berkenalan dengan pikiran-pikiran atau ajaran al-Hallaj secara lebih mendalam. Hasil perkenalannya itu kemudian dituangkan dalam karya besarnya The Passion of Al-Hallaj.
Salah satu ajaran al-Hallaj yang banyak mengundang reaksi hebat dari berbagai kalagan (termasuk dari kalangan sufi sendiri) adalah wahdat al-adyan (kesatuan agama). Bagi al-Hallaj agama yang bermacam-macam sesungguhnya hanya manifestasi dari perbedaan nama Tuhan yang satu. Semua agama adalah agama Allah. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara monoteisme dan poleteisme. Karena ajarannya yang ekstrim-radikal dan sekular ini, al-Hallaj kemudian dituduh sebagai sufi yang terkutuk, sesat dan menyesatkan hingga akhirnya hakim kerajaan memvonis hukuman mati.
Semangat ajaran wahdat al-adyan-nya al-Hallaj inilah yang dijadikan pijakan utama penulis buku ini dalam upaya membangun rumusan keberagamaan yang pluralistis, terutama di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang majmuk dan plural.
Selama ini masih sangat terasa bahwa makna kerukunan hidup antarumat beragama telah berubah menjadi mitra ideologis yang ekslusif, sehingga lebih nampak bersifat formal, verbal dan tekstual. Sekat-sekat yang mengganjal proses menuju saling pengertian antarumat beragama masih terasa sangat tebal. Berbagai gejolak sosial dan konflik berbau SARA yang terjadi selama ini adalah akibat kesalahan pemakanaan terhadap inti ajaran agama. Dimensi eksoteris agama selalu menjadi titik pandang yang lebih dominan dibandingkan dimensi esoterisnya. Roh atau inti ajaran agama yang memiliki kesatuan yang bersifat moral, teologis dan metafisik dalam arti yang sebenarnya menjadi terlupakan atau hilang sama sekali. Akibatnya, “Klaim Kebenaran” (Truth Claim) dan saling menyalahkan agama lain menjadi begitu menonjol dan tumbuh subur di kalangan umat beragama.
Konsep atau ajaran Wahdat al-adyan mengajak semua pemeluk agama untuk patuh dan konsisten pada ajaran agamanya masing-masing, tanpa dilumuri oleh nafsu menyerang dan menyalahkan agama lain. Wahdat al-Adyan bukan berarti tidak mengarah pada upaya menyatukan agama-agama (hal.2) Wahdat al-wujud ingin menjembatani kemungkinan terbukanya jalur komunikasi yang dialogis antarumat beragama, guna menemukan ‘titik temu’ di antara mereka sehingga mengantarkan mereka pada pemaham keagamaan yang jauh lebih tinggi dan adikodrati : pemahaman kepada yang Absolut.
Dengan komitmen keberagamaan seperti itu, sikap inklusif yang lebih fleksibel, akomudatif, kondusif dan lebih ‘manusiawi, akan mewarnai kehidupan ummat beragama, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai ajaran agama yang menjadi keyakinannya. Inilah sebenarnya mutiara terpendam yang hendak digali, digosok dan diaktualisasikan kembali oleh buku ini, sebagai ajaran alternatif guna meningkatkan mutu keberagamaan ummat beragama.
Karena penerapan ajaran wahdat al-adyan, terutama di Indonesia, diakui penulis sebagai sesuatu yang bukan tanpa resiko, betapapun baiknya ia, maka di akhir buku ini penulis merekomendasikan kepada semua pihak, terutama para pemimpin keagamaan untuk ikut berperan aktif dalam mendukung dan memasyarakatkan konsep tersebut, misalnya dengan memanfaatkan organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan organisasi keagamaan yang lain. Ini penting karena loyalitas masyarakat Indonesia terhadap pemimpinnya (terutama pemimpin keagamaan) masih sangat kuat. Dengan demikian, peluang diterimanya konsep wahdat al-adyan oleh masyarakat akan semakin terbuka. Dan selanjutnya, di kemudian hari, keharmonisan dan kedamaian hidup di kalagan umat beragama akan menjadi sebuah kenyataan, bukan sekedar cita-cita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar