Judul Buku : Impian Dari Yogyakarta, Kumpulan Esai Masalah Pendidikan Penulis : Y.B. Mangunwijaya
Editor : St. Sularto
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2003
Tebal : xxvii + 308 halaman
Pendidikan merupakan kebutuhan primer semua bangsa yang ingin terlepas dari jerat dan belenggu keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, ketidakadilan serta ketimpangan sosial yang lain. ‘Semua masyarakat’ kita adalah produk pendidikan, baik pendidikan formal, informal ataupun nonformal. Mereka yang menjalankan gerak roda bangsa ini, dan menentukan kebijakan untuk membawa bangsa ini sesuai dengan keinginannya, baik ataupun buruk, adalah produk pendidikan. Maka tidaklah berlebihan jika pada tiga perempat abad yang silam presiden Lyndon B. Johnson pernah mengatakan dengan begitu lantangnya bahwa jawaban atas semua permasalahan yang terjadi di sebuah negara berpulang kepada satu kata : pendidikan.
Pendidikan dengan demikian menjadi kata kunci bagi perjalanan sebuah bangsa. Namun sangat disayangkan, dalam beberapa tahun terakhir ini kita seringkali dikejutkan oleh berita yang membuat hati meringis : robohnya gedung sekolah dasar yang menjadi tempat belajar anak-anak harapan bangsa, penerus perjuangan. Lebih mengerikan lagi, karena gedung-gedung sekolah yang ambruk itu justeru banyak yang berada di kawasan yang dekat dengan pemerintah pusat, DKI Jakarta, yang APBD-nya paling tinggi. Sudah sedemikan parahkan kondisi perjalanan pemerintahan kita saat ini sehingga lalai untuk meluangkan sedikit perhatian kepada aset negera yang paling penting itu? Sudah lupakah mereka semua bahwa tidak satupun dari mereka yang tidak mengenyam pendidikan di sekolah dasar?
* * *
Jika saja saat ini Romo Mangunwijaya (penulis buku ini) masih hidup, maka pastilah beliau akan menangis menyaksikan kenyataan pahit tersebut. Romo Mangun memiliki concern yang sangat tinggi terhadap masalah ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan dan (terutama) kebodohan. Fenomena di atas tidak hanya menunjukkan rapuhnya perhatian pemerintah kita terhadap masalah pendidikan, tetapi di sisi lain, juga mengindikasikan lahirnya gejala pudarnya hati nurani mereka untuk memikirkan masa depan bangsa. Perebutan kekuasaan dan berbagai kepentingan pribadi telah melalaikan mereka untuk memperbincangkan hal-hal yang seharusnya diperbincangkan, terutama tentang nasib pendidikan.
Buku ini menyoroti persoalan pendidikan di negara ini (terutama pendidikan dasar) dari berbagai aspeknya, dengan sangat tajam, kritis, dan inovatif, mulai dari persoalan anak didik, guru, metodologi pengajaran, sistem evaluasi sampai kepada peran orang tua dan masyarakat dalam mengantarkan anak-anak menuju masa depannya. Perhatian Romo Mangun terhadap anak-anak (murid) sebagai tunas suci yang akan menggantikan generasi tua amat tinggi. Baginya, anak adalah anugerah berharga dari Allah. Maka ia tetap milik Allah. Ia bukan milik orang dewasa, termasuk orang tua. Ia hanya titipan, agar pada akhirnya dikembalikan lagi kepada Allah selaku manusia dewasa, seutuh dan sebaik mungkin demi dirinya sendiri dan demi pemekaran tata alam semesta serta dunia manusia. (hal. 40)
Tidak aneh kalau kemudian di dalam berbagai tulisan Romo Mangun yang dimuat di harian Kompas ini (sejak tahun 1974-1998) , sangat banyak terfokus kepada masalah pendidikan dasar, tempat anak usia 6-13 tahun menempa diri, mempelajari kehidupan dan memekarkan cakrawala berfikirnya.
Sayangnya, di mata Romo Mangun, pola dan sistem pembelajaran yang berlangsung di dalam pendidikan dasar kita justeru telah memenjarakan dan menginjak-nginjak kemerdekaan anak-anak. Anak-anak lebih banyak dipaksa untuk menghafalkan setumpuk materi tertentu ditambah lagi harus mengikuti les tambahan di luar jam sekolah. Ini dilakukan demi tercapainya kepuasan politik atau gengsi orang dewasa (guru, termasuk orang tua). Masa kanak-kanak mereka telah direnggut sedemikian rupa. Kreatifitas, daya kritis dan potensi eksploratif yang mereka miliki telah dibunuh dan dipadamkan. Maka dengan begitu gerahnya Romo Mangun menegaskan bahwa setiap hari kita telah telah menganiaya 30 juta anak Indonesia melalui sistem persekolahan formal dengan suatu metodologi, sistem evaluasi dan struktur manajemen yang mencekik segala spontanitas, kreatifitas, daya eksplorasi serta kegembiraan proses pembelajaran anak. Kenyataan ini sudah berlangsung selama kurang lebih 30 tahun.
Menurut pengatamatan Romo Mangun, selama ini kita telah terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang definisi anak/murid yang cerdas dan pandai; anak/murid yang ‘mahatahu’ menjawab semua pertanyaan yang disodorkan kepadanya. Barometer seperti ini jelas-jelas melenceng dari yang semestinya. Inilah yang kemudian menyebabkan para guru dan orang tua memaksa anak-anaknya mengahafalkan berbagai mata pelajaran, termasuk nama orang, kota, negara, tanggal dan semacamnya. Padahal, menurut Romo Mangun, anak yang cerdas dan pandai (murid harapan) adalah anak/murid yang terampil untuk bertanya dan mempertanyakan sesuatu yang justeru tidak atau belum ditanyakan atau dipertanyakan oleh guru-gurnya. Pertanyaan itulah yang merupakan indikasi utama bahwa anak tersebut memiliki kegelisahan intelektual (sense of crisis) yang tinggi. Sebab, pada dasarnya, pertanyaan yang dirumuskan secara tepat akan melahirkan jawaban yang baik dari rahim pertanyaan itu sendiri. Di sinilah sebenarnya, menurut Romo Mangun, anak kunci rahasia kemajuan orang Barat yang sudah dicangkoki mental budaya Yunani.(hal. 206)
Maka melalui buku ini, Romo Mangun banyak menyampaikan harapan dan impian yang besar demi kemajuan bangsa ini. Pemberlakuan sila kemanusiaan yang adil dan beradab kepada anak-anak, peningkatan budget negara untuk pendidikan hingga 17 % GNP dan kerja sama yang mantap antar departemen yang terkait dengan pendidikan seperti Depdikbud, Departemen Dalam Negeri, Depag, Depkeh, Depatemen Tenaga Kerja dan lain-lain serta penghargaan yang sama antara guru TK/SD sampai ‘dosen gajah’ adalah beberapa contoh harapan dan impian Romo Mangun. Semua harapan tersebut berujung pada keinginan beliau untuk melihat generasi kita bisa menikmati dan mengenyam pendidikan yang kondusif bagi perkembangan intelektual, emosional, moral dan spiritual mereka. Karena, tegas Romo Mangun, tinggi rendahnya kualitas kebudayaan (dan iman) bangsa dapat dilihat dari indikator amat penting : sampai dimana anak dalam suatu negara dihargai, terlindungi dan terpupuk untuk bermekar alami secara kultural. (hal. 112)
Kita hanya bisa berharap impian besar Romo Mangun ini bisa mendapatkan perhatian yang besar pula dari berbagai kalangan, terutama dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi. Impian tersebut bisa saja hari ini masih berupa mimpi, tetapi pada saatnya kelak, impian tersebut akan menjadi kenyataan. Karena, bagi Romo, segala sesuatu selalu bermula dari sekedar harapan dan impian.
Kita berharap buku ini dibaca dan dipahami secara baik oleh semua pihak yang mencintai masa depan negara ini, karena di dalam buku inilah peta pemikiran dan mainstream gagasan-gagasan besar Romo Mangun tentang pendidikan tertuang secara utuh. Semoga kita tidak terlalu lama untuk menunggu mimpi dan impian Romo Mangun tersebut menjadi sebuah kenyataan.
Editor : St. Sularto
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2003
Tebal : xxvii + 308 halaman
Pendidikan merupakan kebutuhan primer semua bangsa yang ingin terlepas dari jerat dan belenggu keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, ketidakadilan serta ketimpangan sosial yang lain. ‘Semua masyarakat’ kita adalah produk pendidikan, baik pendidikan formal, informal ataupun nonformal. Mereka yang menjalankan gerak roda bangsa ini, dan menentukan kebijakan untuk membawa bangsa ini sesuai dengan keinginannya, baik ataupun buruk, adalah produk pendidikan. Maka tidaklah berlebihan jika pada tiga perempat abad yang silam presiden Lyndon B. Johnson pernah mengatakan dengan begitu lantangnya bahwa jawaban atas semua permasalahan yang terjadi di sebuah negara berpulang kepada satu kata : pendidikan.
Pendidikan dengan demikian menjadi kata kunci bagi perjalanan sebuah bangsa. Namun sangat disayangkan, dalam beberapa tahun terakhir ini kita seringkali dikejutkan oleh berita yang membuat hati meringis : robohnya gedung sekolah dasar yang menjadi tempat belajar anak-anak harapan bangsa, penerus perjuangan. Lebih mengerikan lagi, karena gedung-gedung sekolah yang ambruk itu justeru banyak yang berada di kawasan yang dekat dengan pemerintah pusat, DKI Jakarta, yang APBD-nya paling tinggi. Sudah sedemikan parahkan kondisi perjalanan pemerintahan kita saat ini sehingga lalai untuk meluangkan sedikit perhatian kepada aset negera yang paling penting itu? Sudah lupakah mereka semua bahwa tidak satupun dari mereka yang tidak mengenyam pendidikan di sekolah dasar?
* * *
Jika saja saat ini Romo Mangunwijaya (penulis buku ini) masih hidup, maka pastilah beliau akan menangis menyaksikan kenyataan pahit tersebut. Romo Mangun memiliki concern yang sangat tinggi terhadap masalah ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan dan (terutama) kebodohan. Fenomena di atas tidak hanya menunjukkan rapuhnya perhatian pemerintah kita terhadap masalah pendidikan, tetapi di sisi lain, juga mengindikasikan lahirnya gejala pudarnya hati nurani mereka untuk memikirkan masa depan bangsa. Perebutan kekuasaan dan berbagai kepentingan pribadi telah melalaikan mereka untuk memperbincangkan hal-hal yang seharusnya diperbincangkan, terutama tentang nasib pendidikan.
Buku ini menyoroti persoalan pendidikan di negara ini (terutama pendidikan dasar) dari berbagai aspeknya, dengan sangat tajam, kritis, dan inovatif, mulai dari persoalan anak didik, guru, metodologi pengajaran, sistem evaluasi sampai kepada peran orang tua dan masyarakat dalam mengantarkan anak-anak menuju masa depannya. Perhatian Romo Mangun terhadap anak-anak (murid) sebagai tunas suci yang akan menggantikan generasi tua amat tinggi. Baginya, anak adalah anugerah berharga dari Allah. Maka ia tetap milik Allah. Ia bukan milik orang dewasa, termasuk orang tua. Ia hanya titipan, agar pada akhirnya dikembalikan lagi kepada Allah selaku manusia dewasa, seutuh dan sebaik mungkin demi dirinya sendiri dan demi pemekaran tata alam semesta serta dunia manusia. (hal. 40)
Tidak aneh kalau kemudian di dalam berbagai tulisan Romo Mangun yang dimuat di harian Kompas ini (sejak tahun 1974-1998) , sangat banyak terfokus kepada masalah pendidikan dasar, tempat anak usia 6-13 tahun menempa diri, mempelajari kehidupan dan memekarkan cakrawala berfikirnya.
Sayangnya, di mata Romo Mangun, pola dan sistem pembelajaran yang berlangsung di dalam pendidikan dasar kita justeru telah memenjarakan dan menginjak-nginjak kemerdekaan anak-anak. Anak-anak lebih banyak dipaksa untuk menghafalkan setumpuk materi tertentu ditambah lagi harus mengikuti les tambahan di luar jam sekolah. Ini dilakukan demi tercapainya kepuasan politik atau gengsi orang dewasa (guru, termasuk orang tua). Masa kanak-kanak mereka telah direnggut sedemikian rupa. Kreatifitas, daya kritis dan potensi eksploratif yang mereka miliki telah dibunuh dan dipadamkan. Maka dengan begitu gerahnya Romo Mangun menegaskan bahwa setiap hari kita telah telah menganiaya 30 juta anak Indonesia melalui sistem persekolahan formal dengan suatu metodologi, sistem evaluasi dan struktur manajemen yang mencekik segala spontanitas, kreatifitas, daya eksplorasi serta kegembiraan proses pembelajaran anak. Kenyataan ini sudah berlangsung selama kurang lebih 30 tahun.
Menurut pengatamatan Romo Mangun, selama ini kita telah terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang definisi anak/murid yang cerdas dan pandai; anak/murid yang ‘mahatahu’ menjawab semua pertanyaan yang disodorkan kepadanya. Barometer seperti ini jelas-jelas melenceng dari yang semestinya. Inilah yang kemudian menyebabkan para guru dan orang tua memaksa anak-anaknya mengahafalkan berbagai mata pelajaran, termasuk nama orang, kota, negara, tanggal dan semacamnya. Padahal, menurut Romo Mangun, anak yang cerdas dan pandai (murid harapan) adalah anak/murid yang terampil untuk bertanya dan mempertanyakan sesuatu yang justeru tidak atau belum ditanyakan atau dipertanyakan oleh guru-gurnya. Pertanyaan itulah yang merupakan indikasi utama bahwa anak tersebut memiliki kegelisahan intelektual (sense of crisis) yang tinggi. Sebab, pada dasarnya, pertanyaan yang dirumuskan secara tepat akan melahirkan jawaban yang baik dari rahim pertanyaan itu sendiri. Di sinilah sebenarnya, menurut Romo Mangun, anak kunci rahasia kemajuan orang Barat yang sudah dicangkoki mental budaya Yunani.(hal. 206)
Maka melalui buku ini, Romo Mangun banyak menyampaikan harapan dan impian yang besar demi kemajuan bangsa ini. Pemberlakuan sila kemanusiaan yang adil dan beradab kepada anak-anak, peningkatan budget negara untuk pendidikan hingga 17 % GNP dan kerja sama yang mantap antar departemen yang terkait dengan pendidikan seperti Depdikbud, Departemen Dalam Negeri, Depag, Depkeh, Depatemen Tenaga Kerja dan lain-lain serta penghargaan yang sama antara guru TK/SD sampai ‘dosen gajah’ adalah beberapa contoh harapan dan impian Romo Mangun. Semua harapan tersebut berujung pada keinginan beliau untuk melihat generasi kita bisa menikmati dan mengenyam pendidikan yang kondusif bagi perkembangan intelektual, emosional, moral dan spiritual mereka. Karena, tegas Romo Mangun, tinggi rendahnya kualitas kebudayaan (dan iman) bangsa dapat dilihat dari indikator amat penting : sampai dimana anak dalam suatu negara dihargai, terlindungi dan terpupuk untuk bermekar alami secara kultural. (hal. 112)
Kita hanya bisa berharap impian besar Romo Mangun ini bisa mendapatkan perhatian yang besar pula dari berbagai kalangan, terutama dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi. Impian tersebut bisa saja hari ini masih berupa mimpi, tetapi pada saatnya kelak, impian tersebut akan menjadi kenyataan. Karena, bagi Romo, segala sesuatu selalu bermula dari sekedar harapan dan impian.
Kita berharap buku ini dibaca dan dipahami secara baik oleh semua pihak yang mencintai masa depan negara ini, karena di dalam buku inilah peta pemikiran dan mainstream gagasan-gagasan besar Romo Mangun tentang pendidikan tertuang secara utuh. Semoga kita tidak terlalu lama untuk menunggu mimpi dan impian Romo Mangun tersebut menjadi sebuah kenyataan.
4 komentar:
sisi lain mangunwijaya
Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.
Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
“…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan.
Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”.
(dari pengantar Mangunwijaya untuk buku Johan Huizinga Homo Ludens : Fungsi dan Hakekat Permainan Dalam Budaya, LP3ES 1990)
Mangun melalui Atik dalam novel Burung-burung Manyar mengungkapkan lebih jauh tentang penghayatan jati diri dan dimensi kualitas kemanusiaan ini yang menurut saya berangkat dari kebermainan sang homo ludens ini…
Silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/burung-burung-manyar-mangunwijaya-dalam.html
terima kasih infonya. salam kenal.
assalamualaikum pak saya KUSIK KUSUMA BANGSA.maaf cangkolang saya search blogx dari kmaren2 ga bsa..........bleh saya bergabung?
gabung silahkan....
Posting Komentar