Selasa, 29 Maret 2022

POTENSI SPIRITUALITAS MANUSIA

@Dr. Abdul Wahid Hasan

 Secara sederhana, manusia memiliki dua dimensi: dimensi dhahir dan dimensi batin; raga (soamtic) dan ruh. Jika mengikuti pandangan penemu logoterapi sekaligus tokoh psikologi humanistik, Viktor Frankl, bagian batin ini masih dirinci lagi menjadi dua macam, yaitu dimensi mental dan dimensi neotik (neotic) yang sering disebut dengan dimensi spiritual (keruhanian). Dimensi spiritual inilah sebenarya yang mengantarkan manusia menjadi manusia. The spiritual dimension cannot be ingnored, for it is what makes us human. Meskipun demikian, masing-masing dimensi ini pada hakikatnya sama-sama membutuhkan nutrisi, agar  ia bisa tumbuh berkembang secara normal dan sehat, serta bisa merasakan kenyamanan dan ketenangan.

            Sesuai kodratnya, kononberdasarkan informasi teks keagamaan—manusia diciptakan oleh Allah dari tanah, yang kemudian membentuk manusia secara fisik. Karena tercipta dari tanah, maka ia selalu membutuhkan nutrisi, yang berasal dari sumber asalnya: tanah! Susu, nasi, daging, sarimi, kocor, dan lain-lain, termasuk perempuan, yang pada dasarnya juga berasal dari tanah. Pada saat menikmati semua itu, manusia sudah bisa 'merasakan' kesenangan secara fisik. Secara material. Karena asyik dengan kenikmatan fisik-material ini, pada perjalanan berikutnya, banyak sekali manusia yang lupa, bahwa mereka bukan hanya fisik, tetapi juga memiliki ruh.

            Ruh, ditiupkan oleh Allah ke dalam manusia: wanafakhtu fihi min ruhi (I blew into him the part of my own spirit) [al-Hijr: 29].  Ruh ini suci karena bersal dari-Nya dan ‘ditiupkan oleh-Nya. Manusia –meminjam istilah Ibnu Araby—merupakan  ‘bagian’ (the part) dan secara fithrah ia akan selalu merindukan untuk bersatu dengan yang ‘keseluruhan’ (the whole), demikian juga sebaliknya.

Dengan demikian, dalam diri manusia sudah tersimpan potensi-potensi ‘ketuhanan’ yang amat berharga, yang diharapkan bisa dikembangkan sehingga sifat-sifat ketuhanan tersebut bisa memancar dalam dirinya, dan pada akhirnya bisa bermanfaat untuk diri dan orang lain. Potensi ini akan semakin aktif berkembang dengan baik jika ia terus terhubung secara spiritual dengan Tuhan, sebagai pemilik ruh yang ada dalam dirInya tersebut.

Ruh  ini sebenarnya merupakan inti dari manusia. Ia yang sebenarnya merasakan hakikat senang, bahagia, jika mendapatkan nutrisi yang cukup dan semestinya,  ataupun merasakan sedih, gelisah, keterasingan, kehampaan, dan lain-lain, jika tidak mendapatkan nutrisi yang cukup dan semestinya. Karena ruh berasal dari Tuhan, maka nutrisinya harus berupa hal-hal yang identik dengan ke-Tuhan-an. Untuk merasakan kebahagiaan ia mesti terus bersambung dengan Tuhan. Upaya tersebut bisa mewujud dalam bentuk dzikir, shalat, membaca Alquran, dan ibadah formal yang lain, termasuk juga bisa mewujud dalam bentuk aktivitas lain, yang secara kasat mata bisa berbentuk apapun: nonton tv, berjalan-jalan, merokok, duduk, tidur, makan, dan lain-lain. Akan tetapi jika ia bisa 'menghubungkan' dirinya dengan Tuhan dalam aktivitas tersebut, maka berarti ia sedang dalam proses memberi nutrisi yang baik terhadap dimensi ruhaninya. Itulah true happiness. Kebahagiaan sejati. Karena dengan melakukan hal tersebut ia lebih bisa  berada dalam bingkai makna yang luas dan dalam. 

Pada saat raga sudah tidak bisa menjadi tempat yang baik lagi bagi ruh (dalam bahasa biologi) atau ketika manusia harus sampai pada garis kematiannya, maka  ruh berpindah tempat. Ia tetap 'hidup' sampai kapanpun (bukan kekal, tetapi lebih tepat disebut dikekalkan). Ia kembali pada Tuhannya.

Karena Tuhan 'bersih" dan 'suci', maka untuk bisa bertemu Tuhannya secara sempurna ia juga harus bersih dan suci. Proses pembersihan ruh ini disebut tasawuf. Kata Inggris yang paling dekat dengan tasawuf adalah gnosticism. Dalam literatur Barat, tawasuf sering disebut dengan mistisisme Islam, atau sufisme. Orangnya disebut sufi. Kata sufi mulanya muncul dalam tulisan pada abad ke-9. Asal usul  kata ini dibahas oleh Hujwiri (w. 1071) pada abad ke-11. Asal kata tersebut juga sering diperbincangkan oleh pakar tasawuf. Ada yang menyebut berasal dari kata shuf yang berarti wol (bulu kasar), karena banyak sufi memakai kain wol yang kasar tersebut (lihat Lynn Wilcox, 2003: 19-20). Ada yang menyebut berasal dari ahlus shuffah, atau juga berasal dari kata shaf yang berarti barisan, dengan alasan karena orang sufi berada di barisan pertama di hadapan Allah. 

Inti tasawuf sebenarnya sederhana, yaitu takhallî, tahallî dan tajallî. Takhallî  berarti melepaskan dan membuang segala sesuatu yang tidak baik dan kotor dari tubuh kita, khususnya dari hati, jiwa, pikiran, atauh ruh kita. Dengan melakukan hal tersebut, seorang yang hendak memasuki dunia tasawuf berarti sudah mulai melangkan memasuki station (maqam) pertama dalam tasawuf, yang disebut tawbah. Maqam tawbah ini merupakan dasar utama bertasawuf. Karena tidak mungkin seseorang hendak mengharapkan cinta Sang Kekasih, jika ia masih berlumuran noda. Masih banyak memiliki kesalahan padanya.

Proses pembuangan ini membutuhkan perjuangan yang berat. Sebab, para penggoda juga tidak akan tinggal diam untuk membiarkan seeorang menjadi baik. Belum lagi penggoda canggih yang berasal dari dalam dirinya sendiri, yang disebut nafsu. A'dâ 'aduwwika nafsuka alladzî bayn janbayk. Banyak sufi yang harus menghabiskan waktu bertahun-tahun di dalam maqam pertama ini. Sebab, di dalam maqam ini, masih ada kelas-kelas lagi. Kelas terendah adalah bertawbat dari dosa besar, kemudian dari dosa kecil, dari hal yang dimakruhkan, merasa baik dalam bertawbat, sampai pada puncaknya min kulli khatharin yakhthuru lahu fî ghayri  mardhâtillâh.  Dalam bahasa sufistik yang lain disebutkan, tawbatul 'Am minadz dzanb, wa tawbatul khâsh minal ghaflah (tawbat kelas awam adalah dari dosa, dan tawbat kelas eksklusif adalah dari lupa pada Allah)

Proses selanjutnya adalah tahallî. Dalam hal ini kita sudah mulai berbenah untuk menghiasi diri dengan hal-hal yang baik dan luhur seperti zuhd, shabr, faqr, tawadhu', tawakkal, rida dan mahabbah). Sekali lagi, dalam tahapan ini, kita dituntut untuk memerangi diri kita sendiri sebagai musuh yang paling cerdik, lihai, dan tersembunyi. Jika itu semua sudah terlewati, maka tajallî akan terjadi. Wujud tajallî bisa berupa ittihad, wahdatul wujud, hulul, dan lain-lain.      

            Pada saat manusia sudah memerhatikan, merenungkan dan memperlakukan dirinya secara baik, komprehensif, berarti ia sudah mulai bergerak untuk menjadi diri yang utuh; sebuah diri yang tidak berdiri sendiri; diri yang berkesadaran bahwa ia ada yang menciptakan sehingga tidak bisa terlepas dari yang menciptakannya. Sekali terlepas, berarti ia telah merusak dan melakukan kedhaliman terhadap dirinya sendirinya. Ia telah mengantarkan dirinya pada sebuah kehinaan dan kehancuran. Ini juga berarti ia tidak menyayangi dirinya sendiri. Rabbanâ dhalamnâ anfusanâ wa in lam taghfir lanâ wa tarhama lanakûnanna minal khâsirîn...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar