Ya’ kengaen tang wasiat! Be’en ta’ olle ambu mondug mon ta’ ghalaa tao maca ketab koneng. (ini ingat wasiatku. Kamu tidak boleh berhenti mondok jika belum bisa membaca kitab kuning).
Entah kekuatan apa yang melatari kata-kata ayah ini. Pesan ini begitu menghunjam di dalam hati, hingga seperti terus mengiang-ngiang, dan memengaruhi perjalanan hidup saya selama menjadi santri di pondok pesantren Annuqayah. Kata-kata ini, diucapkan di malam hari, saat pertama kali saya mondok, pada tahun 1986 silam. Secara khusus beliau mendekati saya, setelah nyabis ke Kiai Ahmad Basyir—ghafarallah lah—dan hendak pulang kembali ke rumah, meninggalkan saya di pondok, saat usia saya masih sekitar 12-13 tahun.
Wasiat ini tidak berhenti di ranah kata. Keinginan beliau yang luhur dan tinggi agar saya mampu membaca kitab kuning—yang saat itu merupakan ilmu yang sulit, penguasanya rata-rata memiliki standar moral yang baik, dan ilmu itu sepertinya adalah yang paling keren di kalangan santri—ditopang oleh wujud kongkrit berupa ‘pengawasan jarak jauh’. Ayah dan ibu menjadi semakin lebih rajin bangun malam, dan mengamalkan sunnah yang lain.
Ayah kemudian berpuasa selama beberapa hari, dan itu sudah dinadzarkan sejak dulu. Dulu sekali, saat beliau masih menjadi santri di Latee, dan masih belum menikah. Dalam himpitan ekonomi yang mencekam dan sangat memprihatinkan, beliau sudah punya cita-cita dan harapan besar kepada Allah, kelak, semoga anak-anaknya tidak menderita seperti beliau, karena khawatir tidak sanggup menjalaninya, dan berhenti mondok.
Oleh karenanya, saat pemberian rapor setiap triwulan (semester pertama, kedua dan ketiga), sebelum ayah membuka nilai rapor, pertanyaan pertama yang selalu meluncur adalah: Nahwu-Sharraf dapat nilai berapa? Termasuk kemudian nilai Bahasa Arab. Ilmu alat ini menjadi perhatian utama beliau, meski tentunya beliau sangat senang manakala nilai rapor saya rata-rata selalu bagus, karena saya selalu rangking kelas.
Kalau ayah ke pondok menjenguk saya, buku catatan sekolah saya dibuka-buka. Beliau tanya pengajian kitab apa saja yang saya ikuti, dan pertanyaan lain yang intinya lebih banyak mengarah ke proses belajar saya. Kalau beliau tidak sempat menjenguk saya di pondok, maka beliau akan mengirim surat, yang ditulis dalam bahasa Arab: sebagai bagian evaluasi bagi anaknya, apakah ia bisa memahami pesan tersebut.
Saat sudah besar, kira-kira Aliyah, saya sudah berani berpuasa di pondok, yang tujuan utamanya adalah bisa mengikuti pengajian kitab kuning pada kiai. Semangat Kiai Ahamd Basyir dalam mengajar santri dan memberi pengajian kitab kuning, menebarkan motivasi yang dalam di hati saya. “Rasa lelah” seperti telah dihapus dari kamus kehidupan beliau. Betapa berdosanya saya, santri, jika tidak mampu menimba ilmu dari kiai seperti ini.
Pernah pada bulan Ramadan, saya mengikuti pengajian kitab yang sangat padat sekali. Ba’da Subuh, Kiai memberi pengajian kitab al-Hikam Ibnu ‘Athaillah, hingga sekitar jam 6 pagi. Dalam kondisi kenyang setelah habis sahur, santri yang ikut banyak yang tertidur di dekat kitabnya. Jam 07.30 Kiai memberikan pengajian kitab Fath al-Qarîb hingga jam sebelas. Ba’da Duhur Kia’i memberikan pengajian kitab Fath al-Mu’în sampai Adzan Asar. Setelah Asar Kiai memberi pengajian kitab Nashâih al-‘Ibâd hingga hampir menjelang Maghrib. BA’da Shalat Tarawih, saya berjalan kaki ke Kebun jeruk, Kemisan, Guluk-guluk, untuk mengikuti pengajian kitab pada alm. KH. Moh. Waqid Khazin—semoga Allah mengampuni beliau. Kegiatan ini berlangsung hingga sekitar tanggal 25 Ramadan.
Materi yang ada hubungannya dengan kitab kuning, entah itu fiqih, tasawuf, akhlak, hadits, dan lain-lain, selalu memiliki daya tarik yang luar biasa di hati saya. Saya selalu memburunya dan berusaha mengikutinya, meski tidak hatam. KH. Muzakki, ghafarallah lahu, di Bermengsoy Bragung—sekitar 5-6 KM dari pondok—merupakan tumpuhan saya, saat mengalami kesulitan dalam memahami teks berbahasa Arab. Bersama teman saya, Ach. Maimun—sekarang kiai—saya selalu meluangkan waktu untuk menghadap beliau, di samping belajar ilmu tawadhu’ dan keikhlasan. Karena tidak ada kendaraan (‘taksi’) kami pulang dengan jalan kaki sampai ke pondok..
Pernah juga membawa motor, dan pada saat pulang, baru beerapa meter dari rumah beliau, ban belakang kempes. Saya menuntun motor tersebut hingga sejauh 3 KM, di bawah terik matahari, sampai akhirnya bertemu dengan bengkel sepeda. Tawa-ria menghiasi perjalanan kami berdua, sebagai salah satu cara untuk menghilangkan keletihan dan ‘kepedihan’.
Saat kuliah semester II di STIKA, terjemahan pertama saya dari kitab Fadhl al-Dzâkirîn wa ar-Raddu ‘ala al-Munkirîn sudah rampung. Meski saya dapat honor, buku itu tidak jadi terbit. Saat semester VI, saya sudah menyelesaikan terjemahan kedua dari buku Kayfa Nurabbi Awlâdanâ Islâmiyyan yang ditebitkan oleh Pustakan Pelajar dengan judul Kegelisahan Rasulullah Saat Mendengar Tangis Anak. Sebuah kebagaan luar biasa saat itu, sebab masih merupakan prestasi yang belum terjadi pada santri yang lain.
Dr. Abdul Wahid Hasan, Dosen Pascasarjana INSTIKA Sumenep
Tidak ada komentar:
Posting Komentar