Selasa, 22 Maret 2022

Hidup Nyaman Dengan Kecerdasan Spiritual

Judul Buku :Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Kecerdasan Spiritual, Mengapa SQ Lebih Penting daripada IQ dan EQ  

Penulis : Sukidi 

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 

Cetakan : I September 2002 Tebal : 133 halaman 

Dr. ABDUL WAHID HASANdosen INSTIKA Guluk-guluk Sumenep 

Krisis dunia saat ini nampak dalam semua sektor kehidupan. Dan bukanlah merupakan kesimpulan yang simplistis jika dikatakan bahwa semua itu berakar pada krisis dalam diri manusia sendiri. Fenomena krisis ini tidak bisa hanya didekati sebagai bagian dari krisis intelektual dan moral saja. Lebih jauh dari itu adalah bahwa krisis global yang sudah sedemikian kompleks dan multi-dimensi ini, sebenarnya berawal dari krisis spritual (spiritual crisis) yang bercokol dalam diri manusia itu sendiri. Carl Gustav menyebut krisis spiritual ini sebagai penyakit eksistensial (existential illness), Christina dan Stanislav Grof menyebutnya sebagai “darurat spiritual” (spiritual emergency), sementara pakar yang lain menyebut hal tersebut sebagai keterasingan spiritual (spiritual alienation), patologi spiritual atau bahkan Micahael Kearney menyebutnya sebagai penyakit jiwa (soul pain). 

Semua problem psikologis-eksistensial-spiritual di atas jelas-jelas menggambarkan adanya keterkoyakan yang sudah begitu parah dalam ruang spiritual (spiritual space) pada diri manusia; suatu ruang dimana manusia terfragmentasi secara psikologis-spiritual, khususnya dari pusat diri (self-centre). Selain itu, hal tersebut juga menggambarkan telah terjadi “keterputusan diri” manusia, baik dari diri sendiri (cut of from my self), dari orang lain (from others around me) dan bahkan dari Tuhannya (from God). Inikah lonceng kematian diri kita yang ditandai dengan aksi kekejaman, kekerasan, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan atau bahkan pengeboman? Inikah yang menyebabkan merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme seperti yang melanda dan mendera negara kita? 

* * * 

Buku ini lahir dari kegelisahan seorang intelektual muda, Sukidi -- yang banyak bergelut dengan masalah “new age” yang ditandai dengan maraknya tema-tema dan diskusi tentang pentingnya kembali pada spiritualitas atau pada kekuatan dan kesucian hati nurani-- untuk ikut serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah ksiris yang melanda manusia. Sukidi melihat bahwa akar-akar krisis dan permasalahan hidup yang dialami dan diidap oleh kebanyakan manusia modern seperti disinggung di atas adalah bermula dari keengganan mereka untuk mengisi “ruang spiritual” dalam diri mereka dengan hal-hal yang positif. Hal ini menyebabkan mereka terpental jauh ke pinggiran eksistensi diri (dalam bahasa keagamaan dinisbatkan sebagai “terpentalnya diri dari Tuhan sebagai asal dan orientasi akhir kehidupan manusia”). Padahal seperti kata Schumacher, hidup tanpa hubungan diri dengan sumber diri (disconnection of the Source) bisa berakibat negatif pada keharmonisan hidup manusia, baik secara psikologis ataupun spiritual. Inilah kondisi yang terfragmentasi, terutama dari pusat diri. 

Dengan demikian, lanjut Sukidi, jika manusia menginginkan kesehatan spiritual yang maksimal maka sewajarnya mereka menjalani kehidupan ini dengan mengambil lokus dalam pusat diri, pusat spiritual, pusat hakiki sense of security manusia, yang sebenarnya ada dan bersemayam dalam diri manusia sendiri. Untuk mewujudkan itu semua, diperlukan jenis kecerdasan lain (third intelligence: kecerdasan ketiga), selain kecerdasan intelektual (IQ) ataupun kecerdasan emosional (EQ), yaitu apa yang disebut sebagai kecerdasan spiritual (SQ; spiritual quotient). SQ adalah paradigma kecerdasan spiritual. Artinya, segi dan ruang spiritual manusia bisa memancarkan cahaya spiritual (spiritual light) dalam bentuk kecerdasan spiritual. SQ inilah yang bisa merubah secara kreatif segela bentuk kegelisahan, keterasingan dan kehampaan hidup menjadi sebuah kekuatan dan motivasi diri yang kuat untuk mengantarkan diri pada sebuah kepribadian yang matang dan menyeluruh, arif, bijaksana dan penuh cinta kasih. 

Ada beberapa alasan mendasar yang dipakai Sukidi untuk membangun argumentasinya bahwa SQ lebih penting dari IQ dan EQ. Di antaranya adalah bahwa SQ mampu mengungkap segi perenial dalam sturuktur kecerdasan manusia; segi yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan sudut pandang psikologi atau sains modern. SQ menjadi lokus kecerdasan yang berfungsi tidak saja sebagai pusat kecerdasan, tetapi juga berfungsi sebagai fondasi untuk lebih mengefektifkan potensi IQ dan EQ. SQ-lah yang bisa memfasilitasi dialog yang harmonis antara IQ dan EQ. Sehingga rumusan holistik yang ditawarkan Sukidi adalah mind-body-soul (pikiran-badan-jiwa; intelektual-emosional-spiritual). Selain itu, SQ bisa memberikan kebahagiaan sejati. Sebab, pada hakikatnya, kebahagiaan sejati (true happiness) terletak pada kebahagiaan spiritual (spiritual happiness). Sementara IQ dan EQ cenderung mengarah pada arogansi intelektual, rakus, material, dan perbudakan emosional. Keduanya selalau membelenggu state of mind manusia dengan kebahagiaan yang serba intelektual-material dan emosional. Maka, berbeda dengan buku-buku SQ sebelumnya, konsep SQ yang tawarkan buku ini –sehingga kebagiaan dan kedamaian yang dipropagandakan bukan sekedar janji-janji semu-- sangat menekankan pentingnya SQ sebagai sebuah petualangan spiritual yang mengakar pada pengalaman kongkrit dan nyata. Sebab spiritualitas yang sebatas pengetahuan sama sekali tidak memiliki makna. Apalagi, pengetahuan seringkali justeru membelenggu pikiran manusia. SQ bukanlah “pengetahuan tentang spiritualitas” (spiritual knowledge). Jadi orang yang cerdas secara spiritual bukanlah orang yang kaya dengan pengetahuan tentang spiritual (itas). (h. 51-52) 

Dengan demikian, SQ yang dimaksudkan Sukidi dalam buku ini lebih merupakan SQ yang menjadi penghayatan hidup sejati sehingga melahirkan sikap hidup yang arif dan bijaksana. Core sejati kecerdasan spiritual dengan demikian menjadi terefleksikan dalam sikap hidup yang toleran, terbuka, jujur, adil, penuh cinta dan kasih sayang terhadap sesama, tanpa membeda-bedakan jenis kulit, suku, bangsa, ataupun agama. SQ model inilah yang disebut Levin sebagai level tertinggi kecerdasan spiritual (the highest level of spiritual intelligence). Ia tidak hanya akan memberikan kebahagiaan dan kedamaian individual, tetapi lebih jauh adalah kedamaian buat semua orang. Buat dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar