Dr. ABdul WAhid Hasan
Satu sisi yang mungkin lebih menarik untuk dikaji lebih mendalam dari peristiwa Israk-Mikraj Nabi saw. bukan pada perjalanan beliau melakukan “wisata spiritual” ke langit (Sidratil Muntaha), tetapi pada “turunnya kembali” beliau dari langit ke bumi. Sebab, kemauan Nabi untuk “turun kembali” ini menunjukkan adanya sebuah kesadaran dalam diri beliau bahwa misi kenabiannya adalah bukan untuk semata-mata kebahagiaan dirinya, tetapi jauh lebih penting dari hal tersebut adalah kebahagiaan orang lain (the other), di luar dirinya. Ini pula yang amat dikagumi Mohammad Iqbal dalam melihat perjalanan spiritual beliau yang amat berbeda dengan perjalanan spiritual para sufi: He returns to insert himself into the sweep of time with a view to control the forces of history, and thereby to create a fresh world of ideas. For the mystic the repose of ‘unitary experience’ is something final; for the prophet it is the awakening, within him, of world-shaking psychological forces, calculated to completely transform the human world.
Fenomena “kembalinya” Nabi dari langit ke bumi berbeda dengan apa yang dialami oleh para mistikus muslim (sufi), terutama yang hidup di abad II dan III H. Pada saat mereka mengalami “pertemuan” bahkan penyatuan (ittihâd) dengan Tuhan, seperti pernah dialami oleh Abu Yazid al-Basthami, Rabi’ah al-Adawiyah, ataupun al-Hallaj, mereka terbuai dalam kenikmatan individual tersebut sehingga tidak merasa nyaman untuk berinteraksi dengan manusia. Mereka lupa untuk “kembali” berbaur dengan manusia.
Dari sini dapat diketahui adanya dua model kesadaran spiritual yang berbeda: kesadaran profetik dan kesadaran sufistik. Kesadaran profetik meniscayakan pengabdian dan pelayanan kepada manusia sebagai tujuan akhir dari perjalanan atau karir spiritualitas, sedangkan kesadaran sufistik menjadikan “kemesraan” dengan Tuhan sebagai tujuan akhir dari riyâdah spiritual yang mereka lakukan.
Meskipun kesadaran sufistik seperti digambarkan di atas itu baik, akan tetapi kebermanfaatannya kepada makhluk Tuhan tidak begitu terasa. Padahal pada dasarya, Tuhan menciptakan manusia agar mereka bisa menjadi ‘wakil’ bagi diri-Nya. Sebab, meskipun Tuhan Maha Kuasa, ia tidak berkehendak untuk memberikan ‘bantuan langsung’ dengan tangan-Nya sendiri, kepada hamba-Nya yang sedang ditimpa bencana, sakit, mederita, kelaparan, tertindas dan lain-lain. Dibutuhkan manusia sebagai wakil atas kekuasaan-Nya untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut. Dalam pandangan Muhammad Zuhri, Tuhan hanya memiliki 99 nama, sehingga untuk melengkapi nama Tuhan yang keseratus, manusia harus berperan sebagai wakil atas nama-Nya.
Menghidupkan Spiritualitas yang Hidup
Spiritualitas merupakan dimensi penting manusia yang juga membutuhkan perawatan sebagaimana dimensi yang lain: somatik dan mental, sebagaimana pernah diteguhkan oleh Viktor Frankl (1973:9), penemu logoterapi. Sisi inilah yang sebenarnya bisa menjadikan manusia sebagai manusia (it is what makes us human), menjadikan manusia menjadi apa yang oleh Webster disebut truly human, atau menjadi more human and a person in the fullest sense seperti dinyatakan oleh Macquarrie.
Jika sisi penting ini dibiarkan terbengkalai dan tidak mendapatkan nutrisi yang cukup, manusia akan berubah menjadi buas, serakah dan kejam sehingga tidak bisa menghargai kemanusiaan manusia yang lain. Manusia kemudian berada dalam cengkraman kegelisahan, ketakutan, kehampaan dan penyakit psikologis lain yang pada gilirannya menggiring mereka pada tindakan dan kondisi yang sulit dinalar akal sehat: kebingungan, keganasan, ketertekanan, stress, bunuh diri, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan penghancuran nilai-nilai kemanusian yang lain. Inilah yang disinyalir oleh berbagai kalangan sebagai hal yang mengakibatkan dunia karut-marut dan—seperti dilukiskan oleh Anthony Giddens—menjadi “dunia yang lari tunggang langgang” (run away world).
Para mistikus, termasuk mistikus muslim memang lebih fokus pada pengembangan dan perawatan sisi spiritualitas ini. Capaian mereka dalam pengembangan spiritual, sebagai potensi besar manusia, memang cukup mengagumkan. Sayangnya, kedamaian dan kenyamanan yang mereka alami mengantarkan mereka pada situasi yang sangat individualistik. Meskipun ini baik, akan tetapi yang lebih dibutuhkan sebenarnya adalah sebuah bentuk spiritualitas yang hidup, kreatif, dinamis dan progresif. Bukan spiritualitas yang statis sehingga berhenti pada wilayah yang sempit.
Kesadaran sufistik seperti digambarkan di atas mestinya terus berevolusi menuju atau ditransformasikan dalam sebuah lingkar kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran profetik. Jika hendak belajar dari Mikraj Nabi saw., setelah beliau mengalami atau mencapai kematangan spiritual (spiritual maturity)—dengan mendapat kehormatan berupa diundangnya beliau ke maqam terdekat dengan Tuhan—beliau dengan penuh cinta mau kembali lagi turun ke semesta eksistensial manusia: menyingkirkan kebodohan yang bersarang di otak mereka (dhulumât) untuk kemudian menggiring mereka pada sebuah kondisi yang lebih bercahaya (al-nûr). Inilah hakikat riyâdhah spiritual yang sesungguhnya: menaklukkan ego dan cinta individual menuju cinta yang universal.
Dengan demikian, kata kunci utama dalam pengembangan spiritalitas yang hidup ini adalah cinta kepada sesama, yang menafikan ras, suku, warna kulit, bahasa, negara dan agama. Dengan berbekal cinta universal semacam ini manusia yang satu bisa menjunjung tinggi martabat manusia yang lain dengan memberikan perlindungan bagi yang tertindas, membantu yang kekuarangan, membimbing yang tidak tahu, memberantas korupsi, prostitusi dan kejahata lain, atau memberikan keadilan bagi mereka yang teraniaya.
Aktivitas ini pada dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk meninggikan martabat agama. Sebab, agama ‘diberlakukan’ oleh Tuhan pada dasarnya untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Tuhan sama sekali tidak membutuhkan penyembahan manusia. Manusialah yang membutuhkan Tuhan untuk melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya bagi kemanusiaan. Hal ini pernah ditegaskan oleh K.H. Abdurrahman Wahid, bahwa kehadiran agama tidak lain untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan Tuhan karena Tuhan tidak butuh bantuan manusia.
Dengan demikian, dalam kehidupan ini akan terus terjadi dinamisasi dan progresifasi, baik secara moral, kultural ataupun intelektual dengan tetap tidak melupakan sisi spiritualitas sebagai basik pijakannya. Harapan yang bisa dibangun, dalam kemajuan yang dicapai nanti, tetap tidak terjadi hiruk-pikuk, karena suasana batin masing-masing kita tetap tercerahkan.
Dr. Abdul Wahid Hasan,
Dosen Pascasarjana INSTIKA Guluk-guluk Sumenep, dan penulis buku SQ Nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar