Wisata spiritual yang dilakukan Nabi saw. dari Mekah ke Palestina dan terus berlanjut ke Sidratil Muntaha, merupakan undangan istimewa Tuhan kepada beliau, yang tidak pernah diberikan kepada siapa pun, termasuk nabi-Nya yang lain. Ini bukan lagi wisata horizontal, melainkan wisata vertikal; bukan lagi wisata di atas bumi, melainkan wisata di atas langit; bukan sekadar wisata fisik, melainkan wisata spiritual yang menyebabkannya melampaui sekat-sekat goegrafis menuju Hadirat Ilahi, untuk selanjutnya kembali lagi ke bumi Mekah. Undangan tersebut merupakan bonus istiemewa dari Tuhan kepada Nabi saw. yang hati dan jiwanya telah suci cemerlang, sekaligus “hiburan” bagi kekasih-Nya tersebut setelah beberapa tahun terakhir mengalami penderitaan yang luar biasa: mulai dari pemboikotan oleh kafir Quraisy selama tiga tahun sampai kepergian beruntun dua orang yang amat beliau cintai, yang merupakan benteng perjuangan beliau, Abu Thalib dan isteri tercinta Khadijah.
Berbagai ujian hidup yang begitu rumit dan mendera hati itu dijalani oleh Nabi dengan penuh ketabahan dan kebesaran jiwa, tanpa ada sedikit pun rasa putus asa, apalagi dendam kepada orang-orang yang telah menyiksa dan melukai hati dan perasaannya. Nabi saw. tidak larut dalam kesedihan. Ia segera bangkit untuk menemukan strategi baru dalam perjuangannya menyebarkan Islam. Rupanya ini mengundang "simpati" Tuhan sehingga Dia berkenan mengundangnya untuk melakukan perjalanan ruhadi atau wisata spiritual hingga ke puncak tertinggi, yang belum terjamah oleh makhluk yang lain, termasuk Malaikat Jibril.
Dari sinilah babak baru perjuangan Nabi saw. semakin jelas. Setelah beraudisi dengan Tuhan dan mengalami puncak ektase dalam kenikmatan spiritual, Nabi tidak menjadi "mabuk" untuk terus bermesraan dengan kekasihnya itu. Perjuangannya yang belum usai menyebabkan beliau kembali lagi ke bumi untuk berbaur kembali dengan umatnya dalam rangka memberikan pencerahan kepada mereka, baik intelektual, moral ataupun spiritual. Semangat kembali untuk berbaur dengan manusia setelah mengalami "penyatuan spiritual" dengan Tuhan mengindikasikan betapa besarnya cinta Nabi kepada umatnya, meskipun selama ini mereka telah menyiksa, menghina, mencaci-maki, bahkan beberapa kali berusaha membunuhnya.
"Semangat kembali" seperti ini tidak dimiliki (jarang dimiliki) oleh para sufi atau mistikus setelah mereka mencapai puncak spiritualitasnya dengan mengalami al-Ittihad ataupun wahdatul wujud. Mereka tidak ingin terpisah lagi dengan Tuhannya setelah merasakan kenyamanan penyatuan dengan Tuhan. Kalaupun mereka kembali, mereka "kembali" hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain seperti yang dilakukan oleh Nabi. Model Râji'ûn (orang yang kembali) yang pertama ini oleh Ibn 'Araby (mistikus kontroversial yang juga mengaku pernah mengalami mikraj secara ruhani) disebut al-'Ârif (orang yang mengenal Tuhan) sedangkan yang kedua disebut al-'Âlim al-Wârits (orang berilmu yang menjadi pewaris). Dalam pandangan Mohamad Iqbal, model kesadaran Râji'ûn yang pertama disebut kesadaran sufistik, sedangkan Râji'ûn yang kedua disebut kesadaran kenabian.
Dari Sidratil Muntaha ke Bumi
Kedua model râji'ûn di atas sama-sama memiliki kesadaran keagamaan yang memiliki implikasi tersendiri bagi perkembangan peradaban umat yang ada di sekitar mereka. Kesadaran sufistik tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi kedamaian dan keselamatan orang-orang di sekitarnya, karena ia lebih bersifat individual. Orientasi keagamaannya adalah semata ketenangan batin dan "keselamatan pribadi" (individual salvation), bukan orang lain. Inilah kritik yang banyak dilontarkan oleh berbagai kalangan kepada kaum sufi. Melalui cerpen fenomenalnya, Robohnya Surau Kami, AA. Navis juga pernah mengeritik orang yang hanya mementingkan kesalehan individual dengan begitu taatnya melaksanakan ritual keagamaan tetapi tidak peduli dan melupakan masyarakatnya sendiri. Kesadaran seperti ini amat jauh dari visi dan misi agama profetis yang selalu memihak pada orang-orang yang lemah dan tertindas. Kalaupun seseorang harus melakukan penyepian spiritual (spiritual retreat) dalam rangka menemukan kematangan spiritual (spiritual maturity), hal itu mesti dilakukan bukan sebagai tujuan akhir. Akan tetapi, sebagai jalan untuk mendapatkan pencerahan diri sebagai modal utama membangun umat dan mengubah wajah dunia menjadi lebih cerah. Hal inilah yang dilakukan Nabi ketika beliau menyepi di gua Hira dan pada puncaknya mengalami wisata spiritual yang amat menakjubkan hingga menembus lapisan langit tertinggi.
Oleh karena itu, yang mesti kita kagumi dari Isra-Mikraj yang dilakukan nabi bukan semata-mata ketinggian spiritualitas beliau, tetapi lebih jauh dari itu, adalah semangat beliau untuk kembali lagi ke bumi, untuk memberikan yang terbaik bagi umatnya, menyelematkan mereka dari kebodohan, ketidakadilan, penindasan, pencurian, prostitusi, dan prilaku-prilaku kotor lainnya. Beliau tidak ingin merasakan kenikmatan sendirian sementara orang lain tidak bisa merasakan menafaat dari kebaikan yang ada pada diri beliau. Itulah sebabnya beliau selalu menekankan: khair al- nas anfa’uhum li al-nas (paling baiknya manusia adalah orang yang paling berguna untuk manusia yang lain).
Ini pula yang amat dikagumi Iqbal dalam melihat perjalanan spiritual beliau yang amat berbeda dengan perjalanan spiritual para sufi. Ia menulis: He returns to insert himself into the sweep of time with a view to control the forces of history, and thereby to create a fresh world of ideas. For the mystic the repose of ‘unitary experience’ is something final; for the prophet it is the awakening, within him, of world-shaking psychological forces, calculated to completely transform the human world.
Dengan demikian, ada baiknya kita segera membersihkan diri, menyingkirkan segala kesombongan, rakus, dendam, amarah, iri hati, dan hal-hal kotor lainnya yang senantiasa bercokol di ruang spiritual kita. Selanjutnya, kita berserah diri ke dalam pangkuan-Nya setelah melakukan usaha-usaha kongkrit dan nyata. Dengan demikian, pada gilirannya, kita juga akan mengalami perjalanan dan penyatuan spiritual sebagaimana yang dialami oleh nabi. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Soraya Suzan Behbehani dalam The Messenger Within (1999), dalam diri kita juga ada potensi kenabian yang bisa dikembangkan sehingga kita pada akhirnya bisa juga menjadi seperti nabi. Yang perlu menjadi catatan, apakah setelah kita bermikraj dari bumi Jawa Timur ini menuju sidratil muntaha, kita akan kembali legi ke Jatim untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan yang menjerat dan mencekik penduduk di sana, ataukah kita menjadi “orang mabuk” yang hanya asyik bersila di dalam surau dan cuci tangan dari segala persoalan yang ada?
Dr. Abdul Wahid Hasan, Dosen INSTIK Annuqayah Guluk-guluk, dan penulis buku SQ Nabi, dan buku-buku lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar