Dalam salah satu pidatonya, mantan presiden Amerika Serikat, Lyndon B. Jhonson menegaskan, “The answer for all our national problems comes down to a single word: education!” (Jawaban atas semua persoalan nasional kita merujuk kepada satu kata: pendidikan). Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, pertanyaan pertama yang muncul dari Kaisar Jepang adalah berapa jumlah guru yang masih tersisa. Dia tidak terlalu memedulikan berapa tentara atau aparatur pemerintah yang lain yang mati terbunuh.
Saat ini Amerika ataupun Jepang merupakan dua negara super power dalam deretan daftar negara-negara yang ada di dunia. Kemajuan yang dicapai oleh kedua negara ini, termasuk negara Barat yang lain, begitu gemilang, terutama dalam aspek pengembangan iptek.
Kalau begitu, pendidikan dan guru merupakan kata kunci (key word) bagi maju tidaknya sebuah negara. Semakin besar perhatian negara terhadap pendidikan dan guru, semakin majulah negara tersebut. Demikian juga sebaliknya.
Contoh sederhananya adalah negara kita, Indonesia, yang dari sisi kekayaan dan potensi alamnya begitu melimpah, namun karena SDM-nya begitu lemah maka kekayaan yang ada tetap terpendam, tidak tereksplorasi secara baik dan unggul, atau kalaupun ada yang tereksplorasi, pelakunya adalah orang asing. Indonesia hanya mendapat “jatah” yang sangat kecil dari tanahnya sendiri. Karena orang-orang yang terlanjur duduk di pemerintahan adalah orang-orang yang kurang peka terhadap pengembangan SDM maka kebijakan-kebijakannya pun cenderung tidak menjangkau jauh ke masa depan. Maklum saja, jika kita merujuk pada human development index yang dilaporan UNDP (United Nation Development Program), sejak tahun 1998 Indonesia telah mengalami penurunan yang terus memburuk. Di Asia Tenggara saja, Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja dan Myanmar. Pada tahun 2003 Indonesia menempati urutan ke-112 dari 174 negara dan pada tahun 2004, Indonesia semakin jatuh hingga ke urutan 114. Prestasi Indonesia hanya mampu berada di urutan agak tinggi jika dikaitkan dengan masalah korupsi, pelanggaran HAM atau ekspor TKI ke luar negeri, termasuk ke Malaysia: negara yang baru merdeka, jauh sesudah Indonesia yang sudah meraih kemerdekaanya lebih setengah abad yang silam.
Kemajuan dan Krisis Makna Hidup.
Kemajuan yang dicapai Barat saat ini, memang cukup luar biasa, jika dilihat dari usia kebangkitan mereka, setelah tertidur selama ratusan tahun. Akan tetapi setelah mereka mencapai “puncak” kemajuan seperti itu, diam-diam mereka seringkali merasakan “ada sesuatu” yang belum tercapai, atau hilang dari kehidupan mereka: kebahagiaan, ketenangan dan kebermaknaan hidup. Negara mereka yang maju itu justru dilanda kebrutalan dan tindak kriminal yang telah mencapai tingkat yang tidak bisa ditolerir. Berdasarkan laporan FBI, pada tahun 1965, di Amerika telah terjadi 5 juta tindak kejahatan. Rata-rata satu kejahatah terjadi dalam setiap 12 detik, satu pembunuhan hampir setiap jam, pemerkosaan setiap 5 menit dan pencurian mobil setiap menit. Pemandangan serupa juga terjadi di negara maju lainnya seperti Inggeris, Jerman dan Perancis. “Planet kita adalah luatan kejahatan”, guman seorang kriminolog Amerika. (Alija ‘Ali Izetbegovic, 1992: 87). Tidak terlalu berlebihan juga jika Anthony Giddens menyebut abad XX ini sebagai “abad berdarah dan menakutkan” (the twentieth-century world is a bloody and frightening one).
Dominasi dan hegemoni kehidupan materialistik dan positivistik, di satu sisi, ternyata telah mengantarkan mereka pada penghancuran dimensi hidup yang lain, yaitu dimensi spritual. Padahal dimensi ini berada di luar lingkaran kultur materialistk dan postivistik. Ia merupakan dunia tempat manusia menghubungkan diri dengan The Higher Consciousness. Penghancuran dan keterputusan dengan The Higher Consciousness inilah yang sebenarnya menjadi cikal-bakal terjadinya berbagai tindakan-tindakan yang sama sekali tidak mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keluhuran. Kepentingan materialistik dan positvistik telah menjadi barometer dan tujuan utama dalam segala aktivitas mereka. Mereka sudah tidak memiliki kepercayaan lagi pada potensi yang berada dalam dirinya sendiri sehingga perlu menggantungkan diri pada hal-hal yang bersifat eksternal. “Kebanyakan kita memburu kebahagiaan di luar diri daripada di dalam diri”, kata Paul Edward bersungut-sungut menyaksikan geliat manusia modern yang tidak lagi memiliki kendali. “Padahal di dalam diri kita, ada potensi luar biasa yang bisa menjadikan kita seperti Nabi”, kata Behbehani.
KBS Sebagai Solusi.
Kegelisahan, kegalauan, ketakutan dan kehampaan hidup yang dialami Barat telah menyebabkan mereka mulia melirik kembali dunia Timur yang tampak lebih tenang. Semboyan turning to the east dan new age menjadi begitu ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Hal ini berarti bahwa dunia mistik-spiritual ternyata tetap memiliki arti penting dalam kehidupan manusia modern, sebagai titik pusat acuan ilmu pengetahuan dan aktivitas kemanusiaan. Dengan demikian apapun yang menjadi profesi, jabatan dan aktivitas manusia, jika didasarkan pada spiritualitas, akan memiliki makna-makna dan tujuan lain, yang jauh lebih luhur dibandingkan sekadar tujuan yang bersifat material.
Pendidikan sebagai salah satu lembaga pemanusiaan manusia memiliki peran penting untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan manusia, sekaligus menjadikannya sebagai dasar dari segala materi pelajaran yang hendak disampaikan kepada peserta didiknya. Apapun jenis materi pelajarannya: matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi, biografi dan lain-lain, semuanya mesti mengakar pada nilai “spiritualitas” yang kokoh dan dalam, sehingga apa yang mereka pelajari (dan ilmu yang mereka dapatkan) “tidak kering” dan kehilangan bobot-bobot pemaknaan dalam pengertiaan yang sangat luas. Inilah yang penulis maksudkan dengan perlunya menerapkan KBS [Kurikulum Berbasis Spiritual; spirituality based curriculum) dalam pendidikan kita. Spiritualitas mesti menjadi akar dan ruh dari semua materi yang hendak diajarkan kepada anak didik sehingga “ranting” dan “daun” yang akan tumbuh bermekaran tetap merupakan “anak kandung” darinya. Selain itu, hal tersebut bisa menjadi, sedikitnya, antisipasi awal dari berbagai krisis kemanusiaan yang akan melanda Indonesia, ketika kelak negeri ini sudah mencapai kemajuannya. Sebab ada banyak hal yang sebenarnya masih tersembunyi di balik realitas, yang tidak bisa ditangkap dengan ilmu-ilmu empiris.
Dalam konteks ini, pendekatan psikologi transpersonal dalam setiap penyampaian materi pelajaran amat penting dilakukan agar anak didik memiliki kemampuan untuk bisa melihat sisi fundamental yang seringkali terabaikan dalam diri mereka. Sebab dalam psikologi transpersonal dikenal bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi spiritual yang akan mengantarkan kecerdasan manusia pada tingkat yang lebih fundamental: kecerdasan yang berkaitan erat dengan persoalan kehidupan yang paling mendasar. Inilah yang menentukan sejauh mana manusia mampu memahami diri, makna dan tujuan hidupnya.
Tentu saja yang dimaksudkan spiritualitas di sini bukan sekadar spiritualitas yang hanya sampai pada tataran biologis dan psikologis, seperti rumusan Danah Zohar dan Ian Marshall tentang SQ-nya, melainkan spiritualitas yang menyentuh tataran ilahiyah yang transendental. Dengan demikian, pemberiaan makna-makna yang dalam dan luas dalam segala aktivitas kemanusiaan kita akan semakin sempurna sehingga tidak ada lagi yang perlu digelisahkan, diresahkan, ditakuti, disesali atau ditangisi ketika kita berbenturan dengan ujian hidup dan kegagalan. Dan pada saat yang sama, tidak ada yang perlu terlalu dibanggakan dengan prestasi dan anugerah dan yang telah sampai pada kita, kecuali semua itu termanifestasi dalam bentuk syukur yang jujur dari kedalaman hati. Kondisi seperti inilah yang sebenarnya hendak ditegaskan oleh Rasulullah saw. melalui sabdanya, “Betapa menakjubkan urusan orang mukmin. Semua urusannya merupakan kebaikan. Dan hal itu tidak terjadi kecuali pada seorang mukmin. Ketika dia mendapatkan kebahagiaan dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan. Dan ketika dia mendapatkan kemudaratan dia sabar dan hal itu merupakan kebaikan.” (H.R. Muslim)
Untuk mencapai tingkat syukur dan sabar –sebagai implementasi dari nilai-nilai spiritualitas yang telah mengakar dalam dirinya, sebagaimana digambarkan dalam hadits di atas-- tentu harus melalui sebuah proses dan pengalaman hidup yang tidak ringan dan tidak singkat. Akan tetapi jika proses ke arah tersebut tetap berlangsung maka pada akhirnya pasti akan sampai juga. Dan kita semua bertanggung jawab untuk menciptakan proses tersebut, sekaligus menjalaninya. Intinya, jangan pernah berhenti berproses!
Rabu, 21 Januari 2009
Pendidikan Kita Perlu KBS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Kalau orang surabaya, taunya KBS itu artinya "Kebun Binatang Surabaya". Jadi, yuk ke Kebun Binatang...
kalo' ada pelatihan tentang KBS undang kita ya..
untung saya bukan orang surabaya, tapi orang sby (presiden)..
Posting Komentar