Anak-anak adalah makhluk kecil yang memiliki dunia yang luar biasa: indah, suci, polos, dan lugu. Di balik itu semua, mereka sebenarnya menyimpan suatu potensi besar yang senantiasa menunggu tangan-tangan bijaksana kita, orang tua dan siapa saja, untuk mengembangkan potensi tersebut hingga mencapai puncak yang maksimal.
Jan Davidson mengakui bahwa anak-anak sebenarnya telah memiliki kemampuan untuk berpikir lebih jauh tentang konsep-konsep filosofis seperti keadilan, cinta, dan eksistensi dari “wujud tertinggi” (The Supreme Being). Bahkan dalam salah satu penelitiannya, Marsha Sinetar, seorang pendukung terkemuka nilai-nilai praktis spiritualitas, menemukan bahwa banyak sekali anak-anak yang memiliki “pancaran cahaya kesadaran dini” (the early awakening child); Anak-anak yang punya potensi besar untuk mendemonstrasikan kemampuannya untuk melampaui segala bentuk kesulitan dalam rangka walk in truth.
Tulisan Bambang Riadi, Kompas, 23 Juni 2007, yang mengulas tentang peran dongeng dalam upaya memberikan pendidikan antikuropsi sejak dini untuk anak-anak patut mendapat apresiasi mendalam. Dongeng, atau dalam bahasa Arab sering disebut dengan hikâyah, atau qisshah merupakan salah satu media pembelajaran yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada anak-anak sekaligus membangkitkan potensi-potensi besar yang tersimpan di dalam diri mereka. Ini penting, karena nak-anak sedang berada dalam fairly-tale stage (menurut tipologi Walter Houston Clark); sebuah fase yang, dikehendaki atau tidak, menyebabkan mereka tergiring untuk menyukai cerita atau hikayat, dalam berbagai versinya. Selain itu, dalam waktu yang bersamaan, mereka juga sedang berada dalam imitation age: suatu fase yang ditandai dengan keinginan untuk meniru dan mempraktekkan apa yang ia dengar dan saksikan.
Antusiasme mereka yang begitu menggebu untuk menyimak dan mendengarkan hikayat yang kita suguhkan, apalagi hikayat yang bersambung, merupakan ladang empuk dan kesempatan emas yang bisa dimanfaat oleh kita, orang tua atau guru, untuk menjelajahi jiwa mereka sekaligus membangkitkan dan menanamkan nilai-nilai luhur seperti keimanan, keteguhan hati, toleransi, cinta yang universal (cinta kepada semua makhluk Tuhan, termasuk pada lingkungan dan binatang), patriotisme, dan lain-lain, termasuk mengikis nilai-nilai yang tak terpuji seperti iri hati, dendam, mementingkan diri sendiri, korupsi, dan lain-lain.
Hikayat dengan menyajikan dua tema besar seperti di atas (nilai luhur dan nilai yang tidak terpuji) merupakan dasar dan bekal awal bagi terbentuknya sebuah kecerdasan spiritual, yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshal disebut sebagai kecerdasan tertinggi (The Ultimate Intelligence) dan kecerdasan ketiga (The Third Intelligence) setelah IQ dan EQ. Nilai luhur untuk ditiru, sedangkan nilai tak terpuji untuk dihindari dan dicampakkan jauh-jauh dari ruang spiritualitas anak-anak, karena jika ia dibiarkan bercokol di di sana, ia bisa memadamkan cahaya spiritualitas yang dimiliki oleh merkea. Teori “memasukkan” (nilai-nilai luhur) dan “membuang” (nilai-nilai tak terpuji) seperti ini merupakan langkah awal dalam menajamkan potensi spiritualitas anak-anak. Dalam wilayah sufistik, teori ini dikenal dengan istilah tahallî (menghiasi diri dengan hal-hal yang terpuji) dan takhallî (mencampakkan hal-hal yang tak terpuji dalam diri). Kedua proses pembersihan diri ini merupakan inti dari ajaran tasawuf yang merupakan cikal-bakal bagi tumbuhnya kecerdasan sprititual.
Upaya tahallî dan takhallî tentu saja tidak begitu mudah dilakukan pada anak-anak, terutama di zaman yang selalu menawarkan kebobrokan di semua aspek kehidupan. Hampir setiap saat, mata, telinga dan hati anak-anak kita sudah dicemari dan didera oleh suguhan sadisme, seksualisme, hedonisme, dan kekacauan moral lainnya, yang jika dibiarkan, dapat menyebabkan ruang spiritualitas mereka semakin kotor dan tak bercahaya. Padahal kecerdasan spiritual inilah yang akan mampu memberikan “cahaya” bagi mereka dalam menempuh perjalanan hidup yang seringkali dihadapkan dengan berbagai rintangan dan peristiwa yang tidak mulus dan berliku-laku. Kecerdasan tersebut juga akan menjadi filter sekaligus rem pengendali, ketika dalam perjalanan hidupnya kelak, mereka terjerembab dan terjebak dalam “arus kotor kehidupan” yang sangat menggoda mereka untuk melakukan hal-hal najis dan merugikan banyak orang, termasuk diri mereka sendiri.
Dalam konteks ini, hikyat-hikyat yang mengandung dasar-dasar dan nilai-nilai spritualitas perlu disampaikan kepada anak-anak sedini mungkin, tentunya dengan gaya, pola, dan teknik bercerita yang menarik hati mereka. Apa yang mereka dengar, saksikan, dan alami di masa kanak-kanak akan menjadi hipnoterapi bagi mereka. Ini amat penting disadari, sebab 88% perilaku seseorang digerakkan oleh alam bawah sadarnya. Sedangkan alam bawah sadar ini tersusun dari rekaman masa lalu. Fenomena pernah ditegaskan oleh Komaruddin Hidayat dengan merujuk pada buku Hypnotherapy for education dan pengalaman pribadinya.
Akan lebih baik lagi, jika hikayat yang hendak kita sampaikan kepada anak-anak merupakan hikayat yang betul-betul terjadi, bukan sekadar hikayat fiksi yang dibuat-buat oleh manusia. Cerita yang betul-betul terjadi ini bisa berwujud kisah perjuangan hidup tokoh-tokoh besar seperti Muhammad saw, Imam al-Ghazali (Algazel), Ibn Rusyd (Averrous), Ibn Sina (Avicenna) dan lain-lain (jika anak tersebut hidup di keluarga muslim), atau tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Bunda Theresa, Mahatma Gandhi, Budha, Nelson Mandela dan lain-lain jika berasal dari kalangan non-Muslim.
Meskipun demikian, hikayat-hikayat tersebut juga bisa diberikan kepada anak-anak dengan latar belakang agama apa pun, karena nilai-nilai luhur berada dalam setiap agama. Dalam konteks pengembangan kecerdasan spiritual, hikayat tentang perjuangan hidup dan kesuksesan yang mengandung pesan-pesan luhur spiritualitas, tidak hanya dimiliki oleh agama-agama tertentu. Sebab, nilai-nilai spiritualitas ada dalam setiap agama. Sehingga, jika seseorang sudah bisa melaksanakan ajaran agamanya secara baik dan maksimal, pastilah ia menjadi orang yang baik. Sebab dengan begitu, berarti ia telah menjalankan inti pesan semua agama. “To have lived one religion fully is to have lived all religion”, tegas Frithjof Schuon.
Dengan demikian, pada akhirnya, dengan menyampaikan hikayat bermutu kepada anak-anak, berarti kita telah menyelematkan satu generasi setelah kita. Itu juga berarti kita telah ikut menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan dan kehancuran, yang sebagian besar penyebabnya adalah kebobrokan moral dan egoisme.
Akhirnya, seperti kata Mimi Doe, rasanya tak ada panggilan yang lebih luhur daripada panggilan untuk menjadi orang tua yang membimbing anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, sesuai dengan arah tujuah jiwanya.
Rabu, 21 Januari 2009
Hikayat dan Pengembangan SQ Anak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar