Selasa, 30 Desember 2008

Menumbuhkan Kesadaran Beragama Anak

Agama Dalam Kehidupan Manusia.


Karl Marx boleh saja mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (the opium of the people), karena ia mampu mengalihkan perhatian manusia dari realitas dan transformasinya pada dunia ilusi dengan simbol-simbol masa depan. Agama telah membuat manusia mabuk dan tidak menyadari dunia riil yang sedang dijalaninya. Bahkan lebih ekstrim lagi, A.N. Wilson menyebut agama lebih berbahaya dari candu (it’s much deadlier than opium). Karena agama bukan saja membuat manusia mabuk atau tertidur, tapi justru menjadikan manusia buas, arogan dan merasa benar sediri. Kenyataannya, tidak ada konflik besar dunia dengan jumlah korban begitu banyak yang tidak melibatkan agama. Tapi apakah dengan statemen kedua orang ini manusia lantas membuang dan menendang agama dari kehidupan mereka?
Sampai saat ini, agama tetap dominan dalam kehidupan masyarakat dunia. Agama tidak sekadar sebagai institusi, tapi lebih dari itu juga sebagai tata nilai yang dijadikan pedoman dalam kehidupan. Setidaknya ia dipahami sebagai pemberi makna hidup menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Sebagai sebuah ajaran, idealnya ia harus difahami, dihayati, dan dilaksanakan sebaik-baiknya, dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Hal ini akan bisa terwujud melalui proses berkesinambungan dari upaya mengetahui, memahami, menghayati, dan melaksanakannya. Kesadaran keberagamaan bukan sesuatu yang sekali jadi. Ia masih memerlukan proses, interaksi, dialektika, bahkan konflik dalam pengertian positif.
Di sisi lain, dalam Islam ditegaskan bahwa potensi keberagamaan seseorang merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir (fithrah) (Q.S.30: 30). Lebih lanjut ia dikatakan sebagai kebutuhan hidup sesuai dengan karakter dasar manusia. Karena itu, jika ingin menjadi manusia yang sebenarnya, seseorang harus beragama. Salah satu karakter dasar yang terkait dengan agama adalah rasa suka terhadap yang benar, baik dan indah. Karena itu ia akan selalu berusaha mendapatkannya sekaligus merasa ingin tahu yang Maha Benar, Baik dan Indah. Ketiganya tergabung menjadi ‘suci’ yang terdapat dalam agama. Selain itu, manusia juga memiliki rasa takut dan berharap, yang menurut William James merupakan pendorong pada keberagamaan.
Walaupun demikian, seperti kata W.H. Clark, bukan berarti setiap orang yang dilahirkan langsung menjadi agamis. Karena bayi-bayi yang baru lahir adalah manusia dalam bentuk fisik saja, bukan dalam esensinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa bayi masih lebih dekat pada kondisi kebinatangan --secara psikologis-- dari pada kemanusiaan. Artinya masih diperlukan campur tangan pihak lain untuk mengaktualisasikan potensi keberagamaan yang dimilikinya.

Keterlibatan pihak lain tersebut terwujud dalam bentuk pengajaran, bimbingan dan perhatian dalam rangka menanamkan ajaran agama. Sebagai sebuah ajaran, tentu ia harus melibatkan dimensi kognitif, afektif dan psikomotor seorang anak. Maka yang juga mesti menjadi catatan adalah kodisi anak masih diliputi keterbatasan skill fisik serta kapasitas kognitif dan mentalnya. Karena itu, selain ajaran Islam, tradisi Judo-Cristiani juga memberikan ketetapan tersendiri untuk mereka, menyangkut hukum, hak dan kewajiban. Karena itu, pola dan pendekatan yang mesti dilakukan harus dirancang sedemikian rupa, yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa.

Tuhan Dalam Persepsi Anak-Anak
Masa kanak-kanak ( 3-6 tahun) atau anak pra-sekolah (preschool age) merupakan masa-masa yang sangat menentukan bagi perkembangan mereka selanjutnya, baik secara fisik, termasuk juga emosi, mental, moral, dan keberagamaan mereka. Anak dalam usia ini merupakan fenomena tersendiri yang telah menarik perhatian para psikolog, melebihi perhatian mereka pada dunia anak pada taraf atau fase-fese kehidupan selanjutnya.
Secara psikologis, anak dalam usia ini belum bisa menfungsikan potensi rasionalnya secara wajar. Walaupun mereka telah melakukan abstraksi-abstrasi --atau lebih tepatnya quasi-abstraksi-- terhadap segala yang ditangkap inderanya. Ia juga telah merekam segala yang diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan, walaupun masih sangat terbatas (orang tua dan keluarga). Khususnya, hal ini terjadi pada anak dari usia 3-6 tahun menurut tipologi Ernest Hams.
Dalam konteks kesadaran beragama, sebuah temuan menarik tentang pengalaman keberagamaan anak dalam usia 3-6 tahun patut mendapat apresiasi khusus di sini. Adalah Ernest Hams yang melakukan penelitian terhadap ribuan anak di Amerika tentang Tuhan. Temuannya, bahwa anak dalam umur 3-6 tahun yang disebut The fairy-tale stage (taraf cerita-khayali) sudah memiliki konsepsi tersendiri tentang Tuhan. Tapi konsepsi mereka tentang Tuhan ¬–sebagai bagian terpenting dalam kesadaran beragama (religious consciesness)— masih lebih bercorak khayali (fanciful) dan emosional dari pada kecenderungan rasional. Walaupun demikian, yang perlu dicatat, lanjut Harms, ia bukan saja merupakan pengalaman orisinal dan mendalam, tapi juga lebih berakar kuat dalam jiwanya dan, karena itu, lebih penting dari pengalaman pada fase lain. Pada fase ini karakter dasar atau kepribadian seseorang terbentuk, yang akan bertambah kuat dengan dukungan ilmu pengetahuan yang diperoleh pada fase berikutnya.
Kondisi-kondisi tersebut di atas merupakan faktor-faktor yang mengantar pada urgensi penanaman kesadaran beragama sejak dini dengan metode-metode tertentu untuk mencetak anak menjadi agamis (being religious), bukan sekedar memiliki agama (having religion). Dalam hal ini, peran pendidik (guru atau orang tua/keluarga sebagai komunitas pertama dan terdekat dengan anak) adalah sesuatu yang tidak bisa di tawar. Sebab kepercayaan seorang anak sangat tergantung kepada apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan diajarkan oleh orang tua, guru, kakak, teman bermain, apa saja yang memberikan dan menyuguhkan informasi ke dalam jiwa dan fikirannya. Sebab dalam usia seperti itu, anak-anak masih belum mampu berpikir secara logis dan mandiri. Kecenderungan yang paling menonjol adalan merekam untuk selanjutnya meniru apa saja yang mereka saksikan.
Persoalan ini telah banyak menyita perhatian para psikolog dan agamawan. Hanya saja, jarang disadari bahwa Islam dengan al-Qur’an dan Hadits telah banyak memberikan contoh dalam hal ini. Nabi Muhammad saw. di samping sebagai nabi, kepala negara, panglima perang, juga seorang pendidik yang sangat besar perhatiannya terhadap anak-anak. Maka perlu kiranya kita melihat dan menelaah metode yang ditawarkan Islam terutaman yang tercermin dalam kehidupan Rasulullah SAW.

Islam dan Penanaman Kesadaran Beragama
Dalam konsep Islam, yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan anak, baik di dunia ataupun di akhirat, adalah orang tua. Orang tua sebagai penyebab utama keberadaan mereka di dunia merupakan râin (pengembala; pemimpin) yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang sejauh mana dia telah menjaga, memelihara, merawat, membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Sebab mereka semua adalah ab wa um al-mustaqbal (ayah dan ibu masa depan). Mereka akan menjadi penerus bagi perjuangan orang tuanya yang belum selesai.
Secara alami, setiap orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang baik dan memberikan keteduhan bagi semua orang, terutama bagi mereka sendiri. Namun tidak semua impian mereka itu menjadi kenyataan. Berbagai persoalan mengahadang di hadapan impian mereka; ketidaktahuan mereka dalam cara mendidik dan menanamkan kesadaran religius dalam anak-anak menjadi penghadang utama. Apalagi saat ini mata, telinga dan hati anak-anak selalu didera oleh berbagai tontonan tentang sadisme, seksualisme, sinisme, dan kekacauan moral yang lain, yang sama sekali tidak mendidik dan menghambat proses penamanan tersebut. Itu semua bisa memadaman cahaya fithrah dan “kesadaran dini” yang ada dalam diri mereka.
Maka keteladanan (al-qudwah) dan contoh kongkrit model keberagamaan orang tua menjadi kunci utama untuk memberikan bekal bermanfaat bagi anak-anak sekaligus menjadi benteng untuk membendung gelombang informasi kotor yang menyerbu kehidupan mereka. Merupakan kejahatan yang amat besar jika justeru dari orang tualah anak-anak menyaksikan pola kehidupan yang tidak agamis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar