Selasa, 30 Desember 2008

Cara Baru Mengajar Gramatika B. Arab


Pada Mulanya…
Kegelisahan ini berawal dari pengalaman pribadi; kegelisahan tentang mengapa begitu sulit untuk bisa memahami teks berbahasa Arab (Kutub ash-Shafra’: kitab kuning)? Betapa banyak siswa (bahkan yang tinggal di pesantren/santri) yang lulus Aliyah (bukan Sekolah Menengah Umum) yang tidak bisa membaca teks berbahasa Arab, bahkan buku yang paling dasar dan mudah seperti Fath al-Qarib sekalipun? Atau betapa banyak sarjana yang sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun di sebuah lembaga pendidikan Islam, tetapi tetap saja masih tertatih-tatih ketika disuruh membaca teks berbahasa Arab? Bahkan mahasiswa (atau sarjana) yang oleh teman-temannya sudah mendapat lebel “bisa” membaca teks Arab (seperti penulis misalnya), ternyata masih kelabakan ketika harus membaca tulisan Muhammad Abed al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan karya-karya besar ulama kontemporer yang lain. Apanya yang salah? Otak mahasiswa? Sistem pengajaran? Atau apa?
Secara jujur memang perlu diakui bahwa struktur kalimat dan perubahan kata kerja dalam Bahasa Arab memang lebih jlimet dan sulit dibandingkan dengan Bahasa Inggris. Tiga tahun yang lalu penulis pernah belajar Bahasa Inggris secara serius selama 5 bulan, dan ternyata skor TOEFL penulis mencapai 494 (walalupun banyak spekulasinya). Lantas, jika Bahasa Inggris bisa dikuasai dalam jangka waktu 5-6 bulan, apakah Bahasa Arab –yang sedikit lebih sulit-- tidak bisa dikuasi dalam tempo satu tahun (dua kali lipat) atau satu tahun setengah (tiga kali lipat)? Tulisan ini mencoba menawarkan model pembelajaran (dan belajar) Bahasa Arab yang lebih cepat dan praktis.

Perlu Pemangkasan.
Model pengajaran Nahwu dan Sharraf sebagai komponen penting dalam Bahasa Arab yang selama ini penulis ketahui di berbagai lembaga pendidikan Islam, khususnya di pesantren masih sangat “lamban”, berliku-liku dan memiliki beberapa kelemahan. Pertama, waktu belajar siswa lebih banyak dihabiskan pada hal-hal yang tidak penting dan “kurang berguna”, seperti menghafalkan kaidah-kaidah (bait-bait nadham), memberi makna kata-kata perkata nadham tersebut, menulis murad (maksud dari sebuah bait nadham), dan lain-lain. Jadi untuk mengetahui isim mufrad (kata benda tunggal), misalnya, siswa harus melalui, setidaknya, tiga tahap: memaca nadham, memberi makna kata-perkata dan menulis murad. Tiga tahap ini bisa menghabiskan waktu 5-10 menit. Belum lagi penjelasannya, yang tentunya memakan waktu yang variatif dan relatif lama.
Lucunya lagi, siswa bisa dikatakan pandai gramatika Bahasa Arab kalau bisa menyebutkan definisi mubtada’, misalnya, lengkap dengan kaidah mubtada’ di Alfiyah dan ‘Amrithi. Dua kitab ini seakan-akan melebihi Alqur’an dan hadis sehingga mesti dihafalkan secara berurut. Bahkan lebih gagah lagi, seperti pernah disinyalir oleh Noer Khalis Madjid, jika dia bisa menghafal sungsang (menghafal dari belakang ke depan). Betapa banyak umur siswa yang dihabiskan hanya untuk menghafal bait-bait nadham tersebut.
Mitos-mitos yang mengelilingi dua kitab tersebut pun berkembang. Konon, buku Alfiyah ini ditulis hanya dalam waktu semalam.Konon lagi, Kyai Khalil Bangkalan menjawab semua persoalan hukum Islam hanya dengan memakai kaidah-kidah yang ada di dalamnya. Dan konon lagi, bait-baitnya bisa dijadikan “jimat”, dengan menghafal Alfiyah bisa alim semua kitab nahwu yang lain, dan sebagainya, dan sebagainya. Maka tidak aneh jika kemudian kita mendapatkan siswa (terutama santri) yang dengan setia, tekun dan penuh optimisme, menghabiskan sebagian besar umurnya hanya untuk menghafalkan bait-bait kitab tersebut. Bahkan setelah kelak dia pulang kampung, anak perempuannya diberi nama Alfiyah. Entah harapan apa yang ada di benaknya.
Jika kita bandingkan, model pembelajaran tersebut sama dengan model pembelajaran baca Alqur’an tempo dulu, yang untuk mengetahui bacaan “kanu” misalnya, masih harus melalui tahap pengejaan kaf fathah ka, nun wawu suku dhammah nu. Setelah itu bacaan yang keluar dari mulut siswa terkadang masih bukan “kanu” tapi “janu”, “kana” dan lain-lain. Untung kemudian ditemukan metode Iqra’, Qiraati dan lain-lain yang memangkas tahapan-tahapan tersebut, sehingga anak dalam usia empat tahun sudah banyak yang bisa mengaji.
Oleh karena itu sudah saatnya kita memangkas semua hal yang memperlamabat dan menghambat siswa untuk mengetahui isim mufrad, fail, maf’ul dan lain-lain. Tanpa kaidah pun, siswa pasti bisa mengerti dan memahami. Kaidah hanyalah pelengkap, bukan tujuan. Namun selama ini kita lebih suka memburu “pelengkap” tersebut dibandingkan “tujuan”.
Kedua, oreintasi dan model pengajarannya adalah menganut pola “tartibisme”: membaca secara tuntas dari A sampai Z sebuah buku tertentu. Maka bisa dipastikan, hal pertama yang diajarkan pada siswa (oleh guru nahwu) adalah pengantar kitab (muqaddimah) dan kalam yang sebenarnya nyaris tidak memiliki fungsi apa-apa ketika membaca teks Arab. Pengantar dan kalam ini saja sudah menghabiskan 3-4 pertemuan (360-480 menit). Setelah itu siswa berlama-lama di isim maushul, isim isyarah, kana, inna, dan lain-lain, karena urutan dalam kitab nahwu klasik memang seperti itu.
Padahal, mestinya, belajar bahasa apapun, yang perlu ditekankan pertama kali, adalah sturuktur kalimat yang terdiri dari subyek+predikit, ada obyek dan keterangan (S+P+O+K). Dalam Bahasa Arab pola ini dikenal dengan pola Fi’il+FA’il+Maf’ul atau pola mudtada’ + khabar. Jika lima poin ini sudah dikuasai secara baik, maka bisa dipastikan, seseorang sudah mulai bisa berjalan (walaupun sesekali harus jatuh) dalam membaca teks berbahasa Arab. Dan untuk mengetahui kelima point tersebut, sekali lagi, tidak perlu dengan kaidah! Setelah itu barulah diperkenalkan isim maushul, isim isyarah, kana, inna dan perangkat-perangkat pelengkap lain, secara sekilas saja. Biarlah mereka yang hendak masuk di jurusan BSA (Bahasa dan Sastra Arab) saja yang mendalami seluk-beluk dan detail-detailnya.
Pemangkasan ini sangat perlu, penting dan amat mendesak karena materi pelajaran yang dihadapi siswa berjumlah puluhan, yang semuanya perlu dan penting. Belum lagi pengetahuan tentang komputer, akutansi, manajemen organasisasi dan lain-lain. Jika pemangkasan ini tidak dilakukan, maka out put nya tidak akan seperti yang diharapkan. Bahkan bisa saja materi yang lain juga tidak akan dicapai secara maksimal. Dan jika itu terjadi maka siswa, seperti pepatah Madura, seperti anggay, ngabber ta’ tenggi, nyoreg ta’ dhalem. Dan kesalahan itu bukan, semata-mata, terletak pada mereka, tetapi lebih banyak pada kita semua, para guru yang masih belum tercerahkan.
Kembali ke Akar Kata: Buatkan Seribu Contoh.
Pendifinisian sesuatu dengan menunjukkan bisa lebih memberikan pemahaman dibandingkan dengan menggambarkan (karena langsung bersentuhan dengan objek). Begitu kira-kira kata hikmah yang terdapat dalam logika tradisional Yunani. Kalimat pendek tersebut sebenarnya menjadi amat berharga jika dipahami secara baik oleh para pengajar, termasuk pengajar tata bahasa. Seorang anak akan lebih mengerti tentang “seekor kera” misalnya, jika kita membawa mereka ke kebun binatang, ke hutan atau kemana saja dan menunjukkan “ini kera” kepadanya, daripada diberi definisi “kera adalah hewan yang…” Dia akan semakin mengerti jika kita menunjukkan kera dalam berbagai variasinya: jenis, jenis kelamin, warna bulu, gaya melompat dan sebagainya. Semakin banyak dia melihat dan bersentuhan langsung dengan “kera” dengan berbagai variasinya, semakin paham dia tentang “apa kera” itu..
Dengan menunjukkan secara langsung maka seorang anak akan mengerti tentang “kera”, meskipun, bisa saja, dia tidak bisa mendefinisikan kera melalui kata-kata. Apalah arti sebuah definisi jika pada saat bertemu dengan sesuatu yang didefinisikan kita tidak merasakan bahwa sesuatu itu adalah apa yang kita definisikan.
Pada saat mengajarkan gramatika bahasa Arab (termasuk juga materi yang lain), pendefinisian dengan cara “menunjukkan” secara langsung juga merupakan hal yang sangat penting. Penunjukan ini tentunya dengan mengajak siswa untuk melihat secara langsung contoh-contoh fa’il, mubtada’, maf’ul dan lain-lain yang banyak berterbaran dalam teks berbahasa Arab dengan segala variasinya.
Penunjukan dalam hal ini memang tidak akan semudah seperti menunjukkan “kera” (yang lebih kongkrit) kepada seorang anak, karena fa’il, maf’ul, mubtada’, khabar dan seterusnya lebih bersifat abstrak. Oleh karena itu penunjukan sebanyak-banyaknya terhadap hal tersebut menjadi keniscayaan sehingga setelah terlatih, dengan sendirinya siswa akan mengerti dan terbiasa.. Maka seorang pengajar mesti mempersiapkan “seribu” contoh (untuk setiap mauqi’: posisi kalimat dalam gramatika Bahasa Arab seperti fa’il, ma’ful, dan seterusnya) untuk ditunjukkan kepada siswanya. Contoh-contoh tersebut tentunya contoh yang “kaya”, yang tidak hanya berkutat pada kata “ daraba zaidun ‘Amran” , “Zaidun Qaimun”, “raitu Aba Bakrin” dan contoh-contoh konvensional lainnya, yang jarang sekali ditemukan ketika sudah membaca teks Arab. Pada giliran selanjutnya, berikan mereka tugas untuk mencari sendiri. Tentunya tetap dalam bimbingan dan pengawasan para guru.
Pemberian contoh yang banyak dan kaya inilah sebenarnya yang menjadi ruh dari ilmu nahwu. Sebab secara harfiyah nahwu berarti contoh. Namun dalam praktik pengajarannya, “contoh” sebagari ruh dari nahwu kurang mendapat perhatian serius. Dengan demikian upaya untuk “menunjukkan” fa’il dan teman-temannya yang lain dengan contoh menjadi gagal karena, meskipun ada, “contoh” yang diberikan amat terbatas dan “sangat miskin”. Perhatian para pengajar nahwu telah tersedot habis pada bagaimana caranya agar siswa bisa hafal bait-bait syair (nadham). Padahal sesungguhnya, semakin banyak contoh yang diberikan, semakin mudah siswa memahami dan mengkonkritkan sesuatu yang sebelumnya masih abstrak.

Pengayaan Wacana, kosa kata dan Penguasaan Istilah
Suatu ketika, penulis diminta oleh seorang teman untuk menerjemahkan buku al-Akhlaq wa as-Siyasah al-Islamiyah karya Dr. Mamduh. Buku ini berisi etika dan teori politik Islam. Karena penerjemahan itu berbentuk tim, penulis kebagian menerjemahkan satu bab yang berisi konsep dan pandangan ulama Islam tentang politik, seperti pandangan al-Gazali, al-Mawardi, Al-Farobi, Abdurraziq dan lain-lain. Dengan mudah penulis bisa membaca buku itu, sesuai dengan aturan gramatika Bahasa Arab. Namun meskipun penulis bisa membaca, ternyata penulis tidak bisa memahami. Kamus al-Munawwir dan al-Mawrid yang penulis miliki tidak banyak membantu. Akhirnya penulis membeli buku Tata Negara-nya almarhum Munawwir Syadzali. Setelah selesai membaca buku itu, barulah penulis bisa memahami pesan dan maksud dari tulisan Mamduh tersebut.
“Miskin wacana”. Itulah kira-kira yang penulis alami ketika membaca buku tersebut. Basic pendidikan penulis yang tarbiyah menjadi sulit membaca buku yang siyasiyah (politik), apalagi yang berbau filsafat. Oleh karena itu, latar belakang pendidikan, pengalaman membaca berbagai jenis buku dari karya orang yang beragam merupakan bekal yang amat berharga untuk bisa “memahami” sebuah pesan yang tersembunyi di balik teks. Jika penulis disuruh menerjemahkan buku Kahlil Gibran, maka pastilah hasilnya tidak akan sebaik dan seindah terjemahan yang dilakukan oleh Muhammad Faizi al-Kaelan. Jika Faizi disuruh menerjemahkan buku Tahafut al-Falasifah-nya al-Gazali, maka pastilah hasilnya tidak akan sebaik terjemahan yang dilakukan oleh Ach. Maimun Syamsuddin, yang memiliki basic filsafat. Demikian seterusnya.
Maka, sebenarnya, kita tidak boleh terlalu kagum kepada “si itu” atau “pak anu” dengan mengatakan bahwa mereka alim karena bisa membaca kitab kuning. Untuk yang terlanjur mendapat lebel “bisa” membaca kitab kuning, kita perlu bertanya: kitab apa yang dia baca? Kalau basic pendidikannya pesantren salaf, dia akan lancar membaca Fath al-Mu’in, Fath al-Wahhab dan kitab-kitab klasik lain yang notabene gaya dan sturuktur bahasanya sama. Akan tetapi, bisa kita pastikan, bahwa orang tersebut tidak akan bisa paham ketika membaca buku Takwin al-‘Aql al-Arabi-nya Muhammad Abed al-Jabiri, Tarikh al-Islam-nya Muhammad Arkoun, atau Mafhum an-Nash -nya Nashr Hamid Abu Zaid, karena dia tidak menguasai “wacana” dan istilah-istilah teknis yang ada dalam buku tersebut. Kita yang hanya terbiasa membaca buku fikih di bab Thaharah dan Shalat, akan kesulitan ketika membaca bab buyu’ (jual beli), jinayah (kriminalitas) dan lain-lain. Demikian seterusnya…
Pengayaan wacana dan dan penguasaan berbagai istilah teknis yang “khas” di buku-buku dan bab-bab tertentu menjadi sebuah kemestian yang harus diupayakan semaksimal mungkin. Upaya ke arah tersebut bisa dicapai dengan membaca banyak buku, baik yang berbahasa Inggeris, Indonesia dan bahasa-bahasa yang lain, termasuk juga dengan memperkenalkan istilah-istilah teknis tersebut melalui “contoh-contoh” ketika sedang mengajarkan gramatika Bahasa Arab.

Kata Akhir: Ini Bukan Sekadar Teori.
Apa yang telah penulis sampaikan, mungkin agak terasa “meledak-ledak” karena, di antara ide penulis adalah menyingkirkan buku Alfiyah-nya Ibnu Malik dari sekolah-sekolah formal (terutama di tingkat MTs lembaga pendidikan pesantren). Penyingkiran itu sebenarnya adalah wujud lain dari bentuk penghormatan penulis terhadap buku besar tersebut. Buku itu terlalu agung untuk diberikan secara instan dan berurutan kepada siswa tingkat menengah. Buku itu adalah ibarat “nasi” yang tidak bisa diberikan begitu saja kepada seorang bayi, jika kita ingin bayi itu bisa terus berlangsung hidup secara normal. Kita ambil sari patinya saja dan kita berikan dalam bentuk yang lain.
Beberapa tahun terakhir penulis telah mencoba “memeras” kandungan buku tersebut dan menjadikannya dalam wujud lain, yang di antaranya, seperti yang penulis sampaikan dalam tulisan ini. Hasil perasan tersebut telah penulis “ujicobakan” kepada seorang siswa yang ternyata hasilnya cukup bagus. Bagus dalam arti bahwa hanya dalam kira-kira 30 kali tatap muka, dengan alokasi waktu kurang lebih 60 menit (sekitar ±1800 menit/30 jam), dia sudah bisa “berjalan”, meski masih sering jatuh. Persoalannya bukan lagi pada fi’il-fa’il-maf’ul atau mubtada’-khabar, tetapi lebih kepada penguasaan kosa kata yang masih sangat terbatas.
Artinya, jika saja dia sudah belajar 90 kali tatap maka kemungkinan “jatuh”nya akan semakin menimal. Dan…setelah itu dia akan akan bisa berlari, bahkan lebih kencang dari penulis sendiri.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar